Jumat, 01 Juli 2011

IJMA'

1. pengertian dan jenis-jenisnya
pengertian sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat, yaitu peraturan yang apabila di langgar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum islam adalah segala sesuatu yang di jadikan pedoman atau yang menjadi sumber syaariat islam yaitu al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW (Sunnah Rosululloh).
Sebagian besar pendapat ulama ushul fiqh sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah al-Qur’an dan hadist. Di samping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat kaitannya dengan sumber hukum Islam, yaitu ijma’; qiyas; ijtihat; istishab; istihsan; maslahatul mursalat; ra’yu dan ‘urf.

1. Ijma’
1. Pengertian ijma’
Definisi ijma menurut bahasa terbagi dua
a. bermaksuud atau berniat
b. kesepakatan terhadap sesuatu.
Definisi ijma menurut istilah ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma , di antaranya :
1) Pengarangan kitab fushulul bada’I berpendapat bahwa ijma itu adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma umat Muhammad SAW.
2) Pengarang kitab tahrir berpendapat bahwa Ijma adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma Muhammad SAW.
2. syarat-syarat ijma’
A. yang bersepakat adalah para mujtahid
B. yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
C. para mujtahid adalah umat Nabi Muhammad SAW
D. dilakukan setelah wafatnya nabi Muhammad SAW
E. kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syariat
3. macam-macam ijma’
Ijma’ kalau ditinjau dari terjadinya ada dua macam
1) Ijma’ syarih
Maksudnya ialah semua mujtahid mengemukakan pendapaat mereka masing-masing kemudian meyepakati salah satunya
2) Ijma’ sukuti
Maksudnya adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para muj.tahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakayti ataupun menolak pendapat mereka secara jelas .
4. dalil-dalil tentang ijma
Jumhur mengeluarkan beberapa dalil untuk memperkuat pendapat mereka tentang kehujjahan ijma’, salah satunya firman Allah Swt dalam surat an nisa ayat 115.
Artinya :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
2. Qiyas
2.a. pengertian qiyas
Menurut bahasa adalah pengukuran sesuatu dengan yang lain atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Dalam pandangan ulama ushul fiqh memberikan definisi berbeda-beda tergantung pada kedudukan qiyas. Dalam istimbath hukum dalam hal ini mereka terbagi dua golongan
 golongan pertama : menyatakan bahwa qiyas meerupakan ciptaan manuusia.
 golongan kedua :menyatakan bahwa qiyas merupakan syar’i.
2.b. rukun qiyas
Dari pengertian di atas di simpulkan bahwa qiyas mempunyai empat unsur
1) Ashl ( pokok ) yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang di jadikan tempat mengqiyasnya.
2) Far’u ( cabang ) yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya
3) Hukum ashl yaitu hokum syara’ yang di tetapkan oleh suatu nash.
4) Illat yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl denga adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum dan cabang.
Kehujahhan qiyas dalam hukum
Ibnu hazm berkata “ mereka telah berhujah dengan firman Allah surat An-nur ayat 4
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
[1029] yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang suci, akil balig dan muslimah.
3. Ijtihad
Definisi Ijtihad adalah mencurahkan seluruh potensi untuk mengambil suatu hukum dari dalil-dalil syara’ ( al-Quran dan sunnah ).
Para mujtahid pada zaman sahabat hingga zaman tabi’in mengambil hukum-hukum suatu masalah langsung dari Alquran dan hadits rasulullah , seperti yang tertera dalam hadist Rasulullah yang artinya :
“ Apabila si hakim menghukum lalu berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala, dan apabila ia menghukum lalu berijtihad dan ijtihadnya salah , maka ia memperoleh satu pahala.
4. Ro’yu
Ro’yu adalah suatu hukum yang ditetapkan oleh akal setelah mujtahid mencurahkan fikiran.
Ro’yu kalau dilakukan oleh seseorang maka dinamakan ro’yu fardhi, sedangkan kalau dilakukan oleh beberapa mujtahid maka dinamakan ro’yu jamaah.
Pencipta hukum ( law giver ) adalah Allah.
Walau mujtahid dengan ro’yunya dapat menghasilkan hukum maka apa yang dihasilkannya bukanlah hukum mujtahid. Mujtahid tidak dapat dan tidak berhak menetapkan hukum, ia hanya menggali, menemukan, dan melahirkan hukum Allah yang terfuruk hingga nyata. Ia hanya menemukan dan mengeluarkan hukum tersirat di balik yang tersirat itu.
Pada perinsipnya ro’yu dapat digunakan dalam dua hal
1) dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya sama sekali.
2) bro’yu dapat digunakan dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nash, tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak secara pasti.
5. Istishab, Istislah dan istihsan
Istishab dapat di bagi kedalam dua jenis yaitu
a) istishab kepada hokum akal dalam peredikat “ boleh “, istishab ini berdasarkan atas perinsip “ asal sesuatu itu boleh “ karma itu kalau tidak ada dalil pelarangan atau suruhan,maka sesuatu itu dihukumi boleh atau mubah.
b) istishab kepada hokum syara yang sudah ada dalilnya dan tidak ada dalil yang mengubahnya.
Istislah atau al istihsan adalah meninggalkan hokum yang diperoleh melalui qiyas yang jelas ( jali ) karma adanya dalil syara / logika yang membenarkan / mengharuskan meninggalkannya.
Dalam istihsan ada dua aspek penting yaitu :
1) Aspek dalil yang ditunggalkan dan dalil yang dipakai.
2) Aspek dalil yang dijadikan landasan dasr istihsan .
Berdasarkan kedua aspek tersebut maka istihsan dibagi menjadi :
 istihsan qiyas ( qiyas khofi )
mujtahid meninggalkan qiyas yang jelas dan menggunakan qiyas yang tidak jelas.
 istihsan darurat
meninggalkan dalil yang umum, menggunakan dalil yang khusus karena adanya darurat.
Contohnya kasus seperti yang terdapat dalam al-quran surat al maidah ayat 38, tentang pengecualian potong tangan bagi pencuri karena keadaan yang tidak memungkinkan seperti dalam keadaan musim kelaparan.
Artinya :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
6. Maslahah mursalat
Kebaikan atau kemaslahatan yang tidak di singgung oleh syara’ mengenai hukumnya baik didalam mengerjakan atau meninggalkannya, akan tetapi dikerjakan akan membawa manfaat dan menjauhkan kemudaratan.
Syarat maslahah mursalat
a) Hanya berlaku dalam bidang muamalat
b) Tidak bertentangan dengan maksud hokum islam atau oleh satu dalilnya yang sudah di kenal.
c) Ditetapkan karena kepentingan yang jelas dan di perlukan masyarakat luas.
7. Urf
Yang dimaksud dengan urf adalah suatu perkatan atau perbuatan yang biasa dilaksanakan masyarakat secara terus menerus.
Urf berbeda dengan ijma, ijma harus ada syarat persetujuan diantara para mujtahid, sedangkan urf tetap berlaku meskipun ada dikalang masyarakat banyak dan tetap berlaku meskipun ada perbedaan pendapat dari seseorang, sebagian besar / sebagian kecil masyarakat.

KESIMPULAN
Sumber-sumber hokum islam adalah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syariat islam, yaitu Al qur’an dan Hadist / Sunnah rasulullah SAW. Di samping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat kaitannya dengan sumber hokum islam, yaitu : Ijma’. Qiyas, Ijtihad, Istishab, istislah, Istihsan, Maslahah mursakah, Ro’yu, dan Urf.

DAFTAR PUSTAKA
1. Syafi’I, Rahmat. Ilmu ushul fiqh, Pustaka setia : Bandung
2. Prof. Dr. Wahbatuz Zukhaily, Ushulul fiqhi
3. Sudarsono SH,Msi,pokok-pokok hukum islam, Rineka cipta :Jakarta

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM PRIMER

PENDAHULUAN 
Al-qur’an adalah sumber hukum islam atau dasar hukum islam yang utama dari semua ajaran dan syariat islam,dan definisi Al-quran telah banyak dirumuskan oleh beberapa ulama diantanya yang akan kami bahas di makalah ini
Al-quar’an sampai ke pada kita masih orisinil dan otentik, orisinilitas dan otentisitas di dukung oleh pengguna bahasa aslinya yakni bahasa arab, karna al-qura’an merupakan dalil-dalil hukum yakni petunjuk-petunjuk adanya hukum ,untuk mengetahui hukum-hukum tidak cukup dengan adanya petunjuk melainkan perlu cara khusus untuk memahaminya dari petunjuk-petunjuk itu. Cara khusus itulah disebut metode, ilmu untuk mengetahui cara itu disebut metodelogi , dan metodelogi memahami hukum islam disebut ilmu usulul fiqhi,
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikut yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sangsi yang tegas, sumber hukum islam adalah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber utama syariat islam yaitu al-qur’an
 
PEMBAHASAN
PENGERTIAN ALQURAN
Menurut sebagian besar ulama’ kata Al-qur’an berdasarkan segi bahasa (lughatan) merupakan bentuk masdar dari‘’qoro’a’’ yang bentuk isim masdarnya ‘’qur’an’’ yang berarti bacaan
Sedangkan secara istilah, menurut sebagian besar ulama’ usul fiqih al quran adalah
القرءان هو كلام الله تعلي المنزل علي محمد صلي الله عليه وسلم باللفظ العربى المنقول الينا بالتوتر المكتوب بالمصاحف المتعبد بتلاوته المبدوءبالفاتحة والمختوم بسورة الناس
Artinya :
‘’Alquran adalah kalamullah ta’ala yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW dalam bahasa arab yan di nukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir,membacanya merupakan ibadah,tertulis dalam mushaf,di mulai dari surat al fatihah dan di tutup dengan surat an-nas’’
Jadi al-quran merupakan kalamullah yang memang di turukan kepada nabi Muhammad SAW dan untuk di sampaikan kepada ummatnya.
Ulama’ usul fiqhih menyimpulkan ada beberapa ciri khas alquran
  1. Al-Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammada SAW. Dengan demikian, apabila bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Quran, seperti kitab Zabur, Taurat, Inzil. Ketiga kitab tersebut memang termasuk dalam kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, sehingga tidak disebut Al-Quran. 
  2. Bahasa arab alquran adalah bahasa arab quraisy seperti di tunjukkan dalam dalam beberapa ayat alquran,di antranya surat as-syuara’ayat 26,maka para ulama’ sepakat bahwa penafsiran dan terjamahan alquran tidak di namakan Alquran dan tidak sah sholat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan alquran. 
  3. Al-Quran di nukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir,dengan tanpa perubahan dan penggantian satu katapun.
  4. Membaca setiap kata alquran itu mendapat pahala dari Allah,baik bacaan itu berasal dari hafalan maupun dibaca langsung di dalam mushaf alquran. 
  5. Alquran di mulai dari surat al fatihah dan di akhiri dengan surat an-nas,dan tata cara menyusun aiquran sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat jibril kepada nabi Muhammad SAW,tidak boleh di ubah dan di ganti letaknya.
Adapun ayat yang pertama turun ialah surat al alaq (ayat 1-5)
Dan ayat yang terakhir turun ialah surat Al maidah ayat 3(tiga) Yaitu:
اليوم اكملت لكم دينكم  واتممت عليكم  نعمتى ورضيت  لكم الاسلام دينا  
Artinya
“Pada hari ini ku sempurnakan bagimu agamamu dan ku sempurnakan pula nikmatku kepadamu dan aku rela islam agama (bagimu).
Ayat alquran di turunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan beberapa cara dan keadaan,antara lain;
 
  1. Malaikat memasukkan wahyu kedalam hati nabi Muhammad SAW. 
  2. Malaikat menampakkan dirinya kepada nabi Muhammad berupa seorang laki-laki yang mngucapkan kata-katanya.
  3. Wahyu datang seperti gemericing lonceng.
Ayat di turunkan tadi menjadi dua bagian
1. Ayat makkiyyah
2. Ayat madaniyyah
ayat makkiyyah adalah ayat yang turun sebelum nabi Muhammad hijrah kemadinah,sedangkan ayat madaniyyah adalah ayat yang turun sesudah nabi hijrah kemadinah.
Kehujjahan alquran menurut pandangan imam-imam madzahibul arbaah
A. Pandangan Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah sepakat dengan jumhur ulama’ bahwa alquran merupakan sumber hukum islam,namun menurut besar sebagian ulama’,imam abu hanifah berbeda pendapat dengan jumhur ulama.mengenai alquran itu mencakup lafadz dan maknanya atau maknanya saja
Diantra dalil-dalil yang menunjukkan bahwa imam abu hanifah berpendapat bahwa alquran hanya maknanya saja adalah ia membolehkan sholat dengan menggunakan bahasa selain arab,misalnya bahasa persi walaupun tidak dalam keadaan darurat
B. Menurut pandangan imam malik
Menurut pandangan Imam Malik ,hakikat alquran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya dari Allah SWT.dan bukan mahluk karna kalam Allah adalah sifat Allah.sesuatu yang sifat Allah tidak di katakan mahluk.bahkan ia memberikan pedikat kafir zindiq terhadap orang yang mengatakan itu mahluk,dengan demikian,dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama’ salaf(shobat dan tabi’in)yang membatsi pembahasan alquran sesempit mungkin karna mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah.dan ia pun mengikuti jejak tabi’in dalam cara menggunakan ro’yu.
Berdasarkan ayat ketujuh surat Ali Imran, petunjuk lafat yang terdfapat dalam Al-Quran terbagi dalam 2 macam, yaitu Muhkamat dan Mutasyabihat.
Ayat-ayat Muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya setra dapat dipahami dengan mudah.
Ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki setelah mendalam.
Muhkamat terbagi menjadi dalam 2 bagian, yaitu lafadz nash dan lafadz dhahir.
-lafadz nash adalah lafadz yang menunjukkan makna yang jelas dan tegas (Qath’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain.
-lafadz dhahir adalah lafadz yang menunjukkan makna jelas namun masih mempunyai kemungkinan makna lain.
Menurut Imam Malik keduanya dapat dijadikan hujjah, hanya saja lafadz nash didahulukan daripada lafadz dhahir, menurutnya dilalah nash termasuk qath’i, sedangkan dilalah dhahir termasuk zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya maka didahulukan adalah dilalah nash.
C. Menurut pandangan Imam Syafi’i
Imam Syafi’I sebagaimana para ‘ulama lainnya menetapkan bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok bahkan beliau berpendapat “tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjukknya yang terdapat dalam Al-Quran.” (Asy Syafi’I, 1309:20). Oleh karena itu Imam Syafi’I senantiasa mencantumkan nash-nash Al-Quran setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakannya, yakni deduktif. Namun Imam Syafi’I menganggap bahwa Al-Quran tidak bias dilepaskan dari Assunah, karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali.
Kalau Ulama’ lain menganggap bahwa sumber hukum Islam yang pertama itu Al-Quran kemudian Assunah, maka Imam Asyafi’I berpendapat bahwa sumber hukum Islam yang pertama itu Al-Quran dan As-sunah, sehingga seakan-akan beliau menganggap berada pada satu martabat. Namun, sebenarnya, Imam Syafi’I pada beberapa tulisannya yang lain tidak menganggap bahwa Al-Quran dan sunnah berada dalam satu martabat, dan kedudukan Assunnah itu setelah Al-Quran. Tetapi Syafi’I menganggap bahwa keduanya itu berasal dari Allah SWT. Meskipun mengakui bahwa diatara keduanya terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurutnya Assunnah merupakan penjelas berbagai keterangan yang bersifat umum yang berada dalam Al-Quran. Kemudian Assafi’I menganggap seluruhnya Al-Quran itu bahasa arab, dan beliau menentang mereka yang beranggapan bahwa dalam Al-Quran terdapat itu terdapat bahasa ajam (luar arab), diantara pendapatnya adalah firman Allah SWT.:

  وكذالك انزلنا قرانا عربيا
Artinya:
“Dan begitulah kami turunkan Al-Quran berbahasa arab”
dengan demikian Imam Syafi’I mementingkan penggunaan bahasa arabmisalkan dalam Sholat. Dan beliau pun mengharuskan penguasaan bahasa arab bagi mereka yang ingi memahami dan istinbath hukum dari Al-Quran.
D. Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Al-Quran merupakan sumber dan tiangnya syari’at Islam, yang di dalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Al-Quran juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama Islam.
Ahmad Ibnu Hambal, sebagaimana para ‘ulama lainnya berpendapat bahwa Al-Quran itu sebagai sumber pokok Islam, kemudian disusul oleh As-sunnah. Namun, seperti halnya Imam As-Sfafi’I, Imam Ahmad memandang bahwa As-sunnah mempunyai kedudukan yang kuat di samping Al-Quran, sehingga tak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah nash, tanpa menyebutkan bahwa sumber hukum yang itu adalah nash, tanpa menyebutkan Al-Quran dahulu atau Assunah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-Quran dan Sunah.
Petunjuk (dilalah) Al-quran
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran sebagai sumber hukum syara’ dan mereka sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dalam segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir.
Nash yang qath’I dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya, tidak bias ditakwil, tidak mempunyai makna yang, missal ayat yang menetapkan pengharaman daging babi.
Nash yang dhanni dilalah-nya
Yaitu nash yang menunjukkan makna yang dapat ditakwil dan mempunyai makna yang lebih dari satu baik karena lafadznya musytarak atau lain-lain. Contohnnya.

Kesimpulan
Jadi Al quran merupakan sumber utama hukum islam yang perlu kita terapkan sebagai dalil-dalil (petunjuk petunjuk ) untuk di jadikan hujjah dalam menjawab atau memecahkan sesuatu masalah yang ada,sebagaimana sebagian besar ulama’ushul fiqh sepakat bahwa Al quran merupakan sumber utama (sumber primer )hukum islam.Dan Al quran merupakan kalam Allah yang diturun kepada nabi Muhamad SAW,yang apabila kita membacanya kita mendapatkan pahala baik mambaca dari hafalan diri sendiri ataupun langsung dari kitab Al quran,yang mana di dalamnya bertulisan bahasa arab dan hanya di turunkan kepada nabi muhammad SAW (bukan ke nabi-nabi yang lainnya )untuk di sampaikan dan di ajarkan kepada pengikutnya,dan dinukilkan dengan mutwatir.Kita sebagai orang muslim harus mengetahui dan percaya bahwa Al quran itu benar yang mana di dalamnya tidak ada kareguan sama sekali dan menjalan segala perintahnya dan menjahui segala larangannya karna Al quran adalah kalam Allah SWT.

Daftar Pustaka
Juhaya s.praja, Prof.Dr, Ilmu usulul fiqih, cetakan 1: Agustus 1999 m, cv pustaka setia ,bandung
Sudarsono SH, MSI, pokok-pokok hukum islam,rineka cipta,jakarta

Senin, 20 Juni 2011

Khusu’ dalam pandangan al-qur’an

PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kalamullah yang telah diturunkan kepada rasulallah dengan penuh hikmah dalam setiapa ayat-ayatnya. Al-Qur’an mengandung semua hal yang berkaitan dengan urusan manusia baik untuk di dunia atau pun di akhirat kelak. Baik itu mengenai ibadah , muamallah, atau pun yang lainnya, yang pasti telah ada aturan dan petunjuknya dalam al-Qur’an yang mengatur bagaimana tatacara melaksanakannya dengan menggunakan petunjuk Al-qur’an.
Seperti halnya dalam ibadah, tentunya semua telah ada aturannya dalam Al-Qur’an baik itu secara langsung ataupun tidak langsung. Seperti ibadah salat, mulai dari bersucinya, tatacara pelaksanaannya, hingga nilai kekhusu’annyapun telah ada bahasannya dalam al-qur’an.
Jauh daripada itu, di dsalam makalah ini akan membahas tentang “Khusu’ dalam pandangan al-qur’an. Dan ada beberapa hal yang akan kami ketengahkan dalam makalah ini, diantaranya yaitu apa makna khusu’ menurut al-qur’an? dan bagaimana shalat yang khusu’ menurut al-qur’an? 

PEMBAHASAN
Kendati kata khusyu’ sudah tidak asing bagi kaum Muslimin, namun pada praktiknya dalam kehidupan sehari-hari masih dirasa perlu ada tambahan penjelasan. Bagaimana sebenarnya khusyu’ menurut Al Qur’an itu.
A. Makna khusyu’ menurut al-Qur’an
- Khusyu’ dengan suara, seperti yang terdapat dalam surat Thâhâ ayat 108;
وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا
“Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (Q.S. Thâhâ,: 108)
- Khusyu’ dengan qalbu atupun khusyu’ dengan menghadirkan hati ketika mengingat Allah, hal itu terdapat dalam surat Al Hadîd ayat 16;1
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman menundukkan hati mereka untuk mengingat Allah.” (Q.S. Al Hadîd,: 16)
- Khusyu’ dengan menangis dan bersujud, hal ini terdapat dalam surat Al Isrâ’ ayat 109;2
وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu`.” (Q.S. Al Isrâ’ : 109)
- Khusyu’ karena takut kepada Allah makna khusyu tersebut terdapat dalam surat Al Hasyr ayat 21;
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْءَانَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.” (Q.S. Al Hasyr, 59: 21)
- Khusyu’ karena takut dan harap, terdapat pada surat Al Anbiyâ’ ayat 90;
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
”Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo`a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (Q.S. Al Anbiyâ’, 21: 90)
- Khusyu’ dalam pandangan, terdapat pada surat Al Qalam ayat 43;
خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ
“(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan.” (Q.S. Al Qalam, 68: 43)
- Khusyu’ dengan wajah, hal ini terdapat pada surat Al Ghâshiyah ayat 2;
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ
“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina.” (Q.S. Al Ghâshiyah, 88: 2)
Berdasarkan informasi ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan degan khusyu’ maka didapati pengertian bermacam-macam yang intinya tetap mengacu kepada ‘merendahkan diri’. Bervariasinya pengertian khusyu’ dalam Al-Qur’an ini menunjukkan bahwa sifat khusyu’ tidak hanya berlaku dalam satu konteks ibadah saja seperti shalat akan tetapi bisa meluas kepada berbagai aspek baik yang berhubungan degan ibadah maupun yang berhubungan dengan non ibadah. Dengan demikian sifat khusyu’ adalah sifat yang melekat pada diri seseorang kapan dan dimana saja dan tidak hanya tertentu dalam konteks ibadah saja.3
Khusyu’ dalam ibadah sulit diukur dengan ilmu fiqih sebab khusyu' adalah komunikasi seorang hamba dengan Allah yang tidak selalu melibatkan gerakan lisan atau anggota tubuh lainnya karena yang lebih menentukan kekhusyu’an adalah penghayatan terhadap apa yang diungkapkan dalam hati.
Namun demikian, tidak berarti bahwa khusyu’ itu masalah gaib atau sesuatu yang tidak terukur. Justru, khusyu adalah tingkatan yang mesti kita capai dan kita upayakan, baik dalam shalat, membaca Al Qur’an, berdoa, atau dalam hal yang lainnya.

B. Shalat Yang Khusyu Menurut Al-Qur’an

Kita sering mengasosiakan khusyu' dengan kontemplasi, semedi atau meditasi yang biasa dilakukan dalam praktek ritual agama lain. Kita menjadi lupa untuk menggali bagaimana Al Qur'an menjelaskan mengenai khusyu' itu.4
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya". (QS Al Baqarah [2] 45-46).
Dari kedua ayat tersebut, dapat disimpulkan khusyu' bukanlah konsentrasi, tetapi keyakinan sedang menghadap Allah. Kita hanya perlu memiliki sangkaan/keyakinan ketika kita melaksanakan ibadah salat sehingga bisa bersikap untuk menghadapkan diri kita sepenuhnya kepada Allah dengan sadar dan rela mengembalikan seluruh jiwa raga kita kepada Allah.5
Sesungguhnya Allah telah memuji orang-orang yang khusu’, seperti yang disebutkan dalam surat Al-Mu’minuun ayat satu dan dua;
“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya” (Q.s. Al-Mu’minuun : 1-2)
Khusyu’ dalam sembahyang akan diperoleh oleh orang yang menjalankan sembahyang dengan membulatkan jiwanya dan melepaskan diri dari yang selain sembahyang. Ketika itu, yang terdapat dalam hati dan jiwanya hanyalah sembahyang, sehingga sembahyang bisa menjadi penawar untuk mewujudkan ketenangan jiwa.6 Rasulullah bersabda;
“Sesungguhnya salat itu ketetapan hati, ketundukan diri, kerendahan hati, ratapan batin, dan penyesalan diri. Engkau rendahkan dirimu seraya berucap ‘Allahumma…Allahumma….(Ya Allah….. ya Allah….)’.barangsiapa tidak berbuat demikian, salatnya tidak sempurna.”

KESIMPULAN
Khusyu’ adalah suatu sikap yang diwajibkan dalam melaksanakan sembahyang , mengingat beberapa penyebab dibawah ini :
1. Untuk bisa memahami (merenungkan) apa yang dibacanya. Memahami apa yang dibacanya tentulah dengan mengetahui maknanya.
2. Untuk mengingat Allah dan menumbuhkan perasaan takut kepada ancaman-ancaman-Nya.
3. Untuk mewujudkan munajat (perhubungan dengan Allah) yang sebenar-benarnya. Orang yang bersenbahyang berarti sedang bermunajat (berbicara) dengan Allah. Berbicara dengan Allah tidak akan dihargai (diperhatikan), apabila keadaan hatinya lalai atau tidak khusyu’. Oleh karenanya, para ulama berkata: “sembahyang yang tidak khusyu’ bagaikan tubuh yang tidak berjiwa.”

DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy. Hasbi. Tafsir Al-Quur’anul Majid An-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet.Kedua. Jilid 3. 2000 M.
Amrullah. Abdulkarim. Abdulmalik. Tafsir al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982
Imam Al-Ghazali. Keagungan Shalat (terjemahan). Bandung: Remaja Rosdakarya. 2000 M.
Al-Khatib Abu Abdillah. Al-Khusyu’ Fii ShalatI. Perancis: Alkulliyyah Al-Urubiyyah.1421 H./2000 M.

CONCEPT AND SOCIAL LEARNING THEORY

A. PENDAHULUAN
Bagi para guru, salah satu pertanyaan yang paling penting tentang belajar adalah : Kondisi seperti apa yang paling efektif untuk menciptakan perubahan yang diinginkan dalam tingkah laku? Atau dengan kata lain, bagaimana bisa apa yang kita ketahui tentang belajar diterapkan dalam instruksi? Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, kita harus melihat pada penjelasan-penjelasan psikologis tentang belajar.
Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak lepas dari individu lainnya. Secara kodrati manusia akan selalu hidup bersama. Hidup bersama antar manusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi. Dalam kehidupan semacam inilah terjadi interaksi. Dengan demikian kegiatan hidup manusia akan selalu dibarengi dengan proses interaksi atau komunikasi, baik interaksi dengan alam lingkungan, interaksi dengan sesama, maupun interaksi dengan tuhannya, baik itu sengaja maupun tidak disengaja. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketidak terbatasannya akal dan keinginan manusia, untuk itu perlu difahami secara benar mengenai pengertian proses dan interaksi belajar. Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal tapi memang memiliki makna yang berbeda. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah-laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh. Sedangkan mengajar adalah kegiatan menyediakan kondisi yang merangsang serta mangarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat membawa perubahan serta kesadaran diri sebagai pribadi.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Konsep dan Belajar
Konsep adalah suatu rancangan kedepan yang akan dilakukan oleh konseptor agar tercapai tujuannya, sedangkaan Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur, yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditujukan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan. Tentu saja perubahan yang didapatkan itu bukan perubahan fisik akibat sengatan serangga, patah tangan, dan sebagainya bukanlah termasuk perubahan akibat belajar. Oleh karenanya, perubahan sebagai hasil dari proses belajar adalah jiwa yang mempengaruhi tingkahlaku seseorang.
Teori belajar sosial yang juga masyhur dengan sebutan teori observational learning /belajar observasional/dengan pengamatan[1],tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura,seorang psikologi pada Universitas Stanford Amerika Serikat, bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata reflek otomatis atas stimulus melainkan juga akibat reaksi ayang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan sekema lingkungan kognitif manusia itu sendiri[2].
Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan moral, yang sebagian besar yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Dalam hal ini seorang siswa belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian cara orang atau sekelompok orang mereaksi atau merespon sebuah stimulus tertentu. Siswa ini juga dapat mempelajari respon-respon baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya guru atau orang lain[3].
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning /pembiasaan respond dan imitation/ peniruan,
Conditioning menurut prinsip-prinsip conditioning, prosedur-prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yaitu dengan reward / ganjaran / memberi hadiah dan punishment / hukuman /memberi hukum,dasar pemikirannya adalah sekali seorang siswa mempelajari antara perilaku-perilaku yang menghasilkan ganjaran dan perilaku yang menghasilkan hukuman, ia senangtiasa berpikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang mana yang perlu ia perbuat[4]. Orang tua dan guru sangat diharapkan member penjelasan agar siswa tersebut benar-benar paham mengena jenis perilaku mana yang menghasilkan ganjaran dan jenis perilaku mana yang menghasikan hukuman/saksi.
Reaksi-reaksi seorang siswa terhadap stimulusyang ia pelajari adalah hasi dari adanya pembiasaan merespon sesuai dengan kebutuhan. Melalui proses pembiasaan merespon (conditioning) ia juga menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf yang sebaik-baiknya agar kelak terhindar dari saksi[5].
Imitation proses imitasi peniruan dalam hal ini orang tua dan guru seyogyanya memainkan peran penting sebagai seorang model atau tokoh yang dijadikan contoh berprilaku sosial dan moral siswa, contoh seorang siswa mengamati gurunya sendiri yang sedang melakukan perilaku sosial umpamanya seorang guru menerima tamu lalu perbuatan menjawab salam, beramah tamah dan seterusnya akan diserap oleh seorang siswa, diharapkan cepat atau lambat siswa tersebuut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan sosial yang dicontohkan oleh modelnay.
Kualitas kemampuan siswa dalam melakukan perilaku sosial hasil pengamatan model tersebut antara lain tergantung pada ketajaman presepsinya sesuai dengan ganjaran dan hukumannya yang berkaitan benar atau salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi.selain itu tingkat kualitas imitasi tersebut juga tergantung pada persepsi siswa terhadap siapa yang menjadi model, semangkin piawai dan berwibawa seorang model semangkin tinggi pula kualitas imitasi perilaku sosial dan moral siswa tersebut[6]

2. Pengaruh Social Learning Theory
Pada manusia, setelah masa bayi berakhir, menyusul pula waktu belajar yang sama ia belum bisa berjalan sendiri, berarti manusia pada masa kanak-kanak banyak memerlukan pemeliharaan orang lain, di samping itu pula kita dapat melihat bahwa orang dewasa cenderung untuk memelihara dan menolong yang lebih muda dan juga cenderung untuk berkumpul dan bekerja sama dengan orang-orang dewasa yang lain[7]
Dari urayan di atas dapat di simpulkan bahwa manusia adalah mahluk sosial dan tidak bisa hidup sendirian pasti hidup dalam golongan-golongan,ia dilahirkan dalam lingkungan keluarga di situ ia telah menjadi anggota lingkungan keluarga dan dibesarkan di lingkungannya,bila ia bersekolah maka ia menjadi anggota kelas disitulah ia memperoleh sahabat-sahabat dalam hidupnya, sebagai penduduk desa kota atau negeri ia juga mempunyai teman, karena ia menjadi angota di lingkunagannya[8].
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa anak itu dibesarkan di tengah-tengah berbagai kumpulan, artinya anak itu dipenuhi oleh anggota keluarganya dan teman-teman sepermainannya, oleh lingkungan tetangga dan seterusnya akan tetapi ada juga pengaruh orang-orang di luar itu dipengaruhi oleh anggota-anggota keluarga oleh teman kumpulan tempat anak dibesarkan, ada orang pedagang bercakap-cakap dengan anak itu ada kenalan orang tuanya yang nginap di rumhnya beberapa hari sehingga lingkungan anak itu berubah.
Seorang anak dapat berubah kelakuanya, karena meniru kebiasaan-kebiasaan saudara-saudara yang datang kerumahnya yang sebelumnya tidak kenal atau anak-anak lain yang bermain kerumahnya yang asing baginya dan bermain dengan mereka, malahan dapat juga terjadi anak-anak terpengaruh oleh salah satu gejala jahat, segala pengaruh yang datangnya dari luar disebut pengaruh linggkungan sosial.[9]
Tiap anak berlainan lingkungan sosialnya dan bawaan sosialnya, karena itu pada tiap-tiap anak perkembangan sosialnya berlainan pula,namun demikain dalam perkembangan sosial anak-anak itu ada juga kelihatan sifat-sifat umumnya yang tertentu[10]

3. Ciri-Ciri Belajar Sosial
a. Pendekatan belajar sosial ditekankan pada dua aspek pokok yaitu imitation dan conditioning
b. Guru dan orang tua serta lingkungan sekitar sangat berperan penting dalam membentuk karekteristik seorang siswa
c. Perubahan yang disadari.
Artinya individu yang belajar, menyadari terjadinya perubahan itu atau tidaknya individu merasakan terjadinya suatu perubahan dalam dirinya. Misalnya: individu menyadari bahwa pengetahuannya, keterampilannya, atau sikapnya berubah/bertambah.
d. Perubahan itu bersifat kontinu dan fungsional.
Artinya, perubahan itu merupakan perubahan yang berlangsung terus-menerus atau dinamis. Suatu perubahan yang akan menyebabkan perubahan yang berikutnya dan bersifat fungsional, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi itu berguna bagi kehidupan individu dan bagi proses belajar berikutnya. Misalnya, jika seorang anak menulis perubahan yang terjadi karena belajar ini antara lain. Ia akan terampil menulis. Keterampilan menulis ini akan berlangsung terus-menerus hinggan keterampilan menulis itu menjadi lebih baik dan sempurna .
e. Perubahan yang bersifat positif dan aktif.
Artinya: perubahan yang bersifat positif ialah perubahan itu senantiasa bertambah dari perubahan hasil belajar yang telah diperoleh sebelumnya. Juga perubahan iu tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.
f. Perubahan yang bukan karena pengaruh obat-obatan atau penyakit tertentu. Perubahan tingkah laku karena alcohol misalnya, atau karena penuakit, mabuk, dan lain sebagainya, tidak dapat diktakan perubahan karena belajar. Hal ini sebab perubahan tersebut selain tidak disadari, juga bersifat pasif negative, tidak fingsional dan momentul.
g. Perubahan yang bertujuan atau terarah.
Artinya, terjadi perubahan tersebut karena adanya tujuan yang ingin dicapai. Jadi perubahan belajar terarah kepada tujuan yang jelas dan disadari.[11]
h. Semangkin tingi atau semangkin piawai dan beribawa seorang model yang resepsi seoragn siswa semangkin tinggi pula kualitas imitasi dan konditionong siswa terhadap moral dan perilaku siswa.

4. Hubungan Belajar Sosial Dengan Hakekat Belajar
Dalam konsep teori belajar kontek sosial tidak terlepas, artinya system sosial yang ada di masyarakat berpengaruh langsung dalam perubahan belajar,system sosial tersebut menganndung konsep eksistensi individu di masyarakat dalam hubungannya dalam kehidupan masyarakat sekitarnya[12].
Sejalan dengan hal di atas john Dewey berpendapat yang dikutip oleh Dr.H.Syaiful Sagala,M.Pd, dalam bukunya yang berjudul Konsep dan makna pembelajaran, ia memandang bahwa pendidikan merupakan alat rekontruksi sosial yang paling efektif,dengan membentuk individu dapat membentuk masyarakat, pendidikan merupakan badan yang konsturtif untuk memperbaiki masyarakat dan membina masadepan yang baik, jadi pendidikan sosial mengutamakan kepentingan sosial di atas kepentingan individu[13]

5. Konsep teori pelaksanaan kurikulum
Untuk menetapkan semua tugas yang relevan dalam pengembangan kurikulum ada beberapa komponen pelaksanaan kurikulum yang memainkan peranan penting
a. Masyarakat adalah: kehidupan masyarakat berlandasan pada nilai-nilai keagamaan,sosial,budaya,sebagian nilai-nilai tersebut lestari,sebagian nilai-nilai tersebut berubah sesuai dengan perkembagan IPTEK
b. Masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah normative terhadap dunia pendidikan
c. Kehidupan masyarakat ditingkatkan mutunya oleh individu yang telah mampu mengembangkan dirinya melalui pendidikan
d. Suubjek Didik adalah: bertanggung jawab atas pendidikan sendiri berdsarkan wawasan pendidikan seumur hidup
e. Subjek didik memiliki potensi yang berbeda sehingga setiap subjek didik masing-masing merupakan insan yang unik
f. Subjek didik memelihara pembinaan secara individual dan perlakuan secara manusiawi
g. Subjek didik merupakan insane yang aktif menghadapi lingkungan hiidupnya
h. Pendidik/guru adalah: guru adalah agen pembaharuan, karena itu diharapkan guru jangan ketinggalan informasi
i. Guru berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat
j. Guru sebagai fasilitator memungkinkan terciptanya kondisi yang baik untuk belajar para subjek didik
k. Guru bertanggung jawab secara froposional untuk selalu meningkatkan dirinya[14].
Ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dimana dituntut adanya kerja sama yang baik dalam mencapai suatu tujuan yang telah digariskan oleh kurikulum, diharapkan dengan adanya usaha maksimal mungkin dapat meningkatkan taraf pendidikan yang baik di negara kita, sehingga kualitas sumber daya manusianya pun dapat diandalkan dalam berbagai bidang.
Dalam model kebutuhan sosial tugas perencana pendidikan adalah harus menganalisa kebutuhan pada masa yang akan datang dengan menganalisa pertama pertumbuhan penduduk, kedua partisipasi dalam pendidikan, arus murid dan keinginan masyarakat[15].

6. Karakteristik perubahan hasil belajar
a. Perubahan intensional
Perubahan intensional adalah perubahan yang terjadi dalam proses belajar adalah berkat pengalaman atau praktek yang dilakukan dengan sengaja dan disadari, dengan kata lain bukan kebetulan, karekteristik ini mengandung konotasi bahwa siswa menyadari akan adanya perubahan yang dialamai atau sekurang-kurangnya ia merasakan perubahan dalam dirinya, seperti penambahan pengethuan,kebiasaan, sikap dan pandangan tertentu,keterampilan.
b. Perubahan positif-aktif
Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat positif dan aktif. Positif artinya baik,bermanfaat, serta sesuai dengan harapan, hal ini juga bermakna bahwa perubahan tersebut senangtiasa merupakan penambahan perubahan yaitu memperoleh sesuatu yang lbih baik dari sebelumnya. Adapun perubahan aktif artinay tidak terjadi dengan sendirinya seperti preses kematangan misalnay bai yang bisa merangkak setelah bisa duduk, tetapi karena usaha siswa itu sendiri.
c. Perubahan Efektif-Fungsional
Perubahan yang timmbul karena proses belajar bersifat efektif,yakni hasil guna,artinya perubahan tersebut membawa pengaruh makna dan manfaat tertentu bagi siswa , perubahan fungsional dapat diharapkan member manfaat yang luas misalnya ketika siswa menempuh ujian dan menyesuaikan diri dengan lingkunangankehidupan sehari-hari dalam mempertahankan kehidupan sehari-hari[16].

C. KESIMPULAN
Konsep adalah suatu rancangan kedepan yang akan dilakukan oleh konseptor agar tercapai tujuannya, sedangkaan Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur, yaitu jiwa dan raga.
Teori belajar sosial yang juga masyhur dengan sebutan teori observational learning /belajar observasional/dengan pengamatan[17],tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning /pembiasaan respond dan imitation/ peniruan.
manusia adalah mahluk sosial dan tidak bisa hidup sendirian pasti hidup dalam golongan-golongan,ia dilahirkan dalam lingkungan keluarga di situ ia telah menjadi anggota lingkungan keluarga dan dibesarkan di lingkungannya.
Ciri-ciri belajar sosial
Perubahan yang terjadi secara sadar.
Perubahan dalam belajar yang bersifat fungsional.
Perubahan dalam belajar yang bersifat positif dan aktif.
Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku

D. DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmaadi Abu Drs, 2001, Ilmu Pendidikan, Jakarta:Rineka Cipta.
2. http://cybercounselingstain.bigforumpro.com/t111-ciri-dan-proses-belajar-serta-faktor-yang-mempengaruhi-kesulitan-belajar diakses pada tgl 26-12-2010 jam 13.20
3. http://ryan2010s.blogdetik.com/2010/12/19/prinsip-belajar/, diakses pada tgl 26-12-2010 jam 13.25
4. Sa’ud Udin Syaifudin,M.Ed.,Ph.D dan Makmun.Abin Syamsuddin,M.A, Prof.Dr ,tt, Perencanaan Pendidikan Suatu pendekatan komprehensif, Bandung:PT.Remaja Rosda Karya.
5. Sagala H.Syaiful,M.Pd, Dr, 2006, Konsep Dan Makna Pembelajaran,.Bandung:AlfaBeta.
6. Syah Muhibbin,M.Ed, 2006. Psikologi Belajar ,Jakarta: PT. Graja Grafindo Persada.
footnote

[1] Muhibbin Syah,M.Ed, psikologi Belajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),hlm 106
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] ibid
[5] ibid
[6] Ibid
[7] Drs.H.Abu Ahmaadi, Ilmu Pendidikan, (Jakarta:Rineka Cipta,2001),hlm.273
[8] ibid
[9] Ibid, hlm 275
[10] Ibid hlm 276
[11] http://ryan2010s.blogdetik.com/2010/12/19/prinsip-belajar/ dan http://cybercounselingstain.bigforumpro.com/t111-ciri-dan-proses-belajar-serta-faktor-yang-mempengaruhi-kesulitan-belajar
[12] Dr.H.Syaiful Sagala,M.Pd,Konsep Dan Makna Pembelajaran,(Bandung:AlfaBeta,2006), hlm 257
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Udin Syaifudin Sa’ud,M.Ed.,Ph.D dan Prof.Dr.Abin Syamsuddin Makmun,M.A,Perencanaan Pendidikan Suatu pendekatan komprehensif,(Bandung:PT.Remaja Rosda Karya),hlm 237.
[16] Muhibbin Syah, Op.Cit, hlm 118
[17] Muhibbin Syah,M.Ed, psikologi Belajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),hlm 106

Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Ketauqifian Tartib Surat Al-Qur’an

I. PENDAHULUAN
Al-Qur`an sebagai pedoman hidup yang pertama bagi umat Islam yang bagi kaum Muslimin adalah kalamu-Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad melalui perantaraan malaikat Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar kemampuan apapun. Dimana ayat-ayatnya telah berintraksi dengan budaya dan perkembangan masyarakat yang dijumpainya. Kendati demikian, nilai-nilai yang diamanahkannya dapat diterapkan pada setiap situasi dan kondisi.
Sebagai kitab suci, al-Qur`an sejak pewahyuannya hingga kini, telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Diawali dengan proses penerimaan wahyu al-Qur`an oleh nabi Muhammad saw., kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang telah menghafalnya dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilitas teks dan bacaannya yang mencapai kemajuan yang berarti pada abad ke-3 H dan abad ke- 4 H.
Selain daripada itu di dalam proses penyusunannya, al-Qur’an disusun secara bertahap. Yaitu dari mulai masa nabi Muhammad saw., hingga pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan yang berhasil mengumpulkan Al-Qur’an sehingga menjadi sebuah mushaf yang dikenal dengan sebutan mushaf utsmani yang telah disetujui oleh jumhur ulama sebagai mushaf yang tertib ayat dan suratnya berdasarkan apa yang ada pada masa Rasulullah1. Namun ada pula beberapa ulama yang berpendapat lain tentang susunan surat dalam mushaf Utsmani tersebut. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan mushaf para salaf (para sahabat sebelum al-Qur’an ini dikumpulkan) dalam hal peneriban surat. Diantaranya mereka ada yang mengurutkannya berdasarkan tanggal turunnya, ini sepeti mushaf Ali bin Abi Thalib ra dan seperti mushaf Abdullah bin Mas’ud, serta beberapa mushaf sahabat yang lainya yang juga berbeda dalam hal penyusunan suratnya. 

II. Pengertian Tartib Surat al-Qur`an
Sebelum lebih jauh kita membahas tentang “Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Tartib Surat al-Qur`an”, dan mengemukakan beberapa pendapat para ahli dibidangnya, penulis lebih dahulu memaparkan pengertian “Tartib Surat al-Qur`an” itu sendiri, untuk membantu kita dalam memahami isi kandungan al-Qur`an atau orang lain yang membaca tulisan ini, maka lebih baik jika kita uraikan arti dari tartib surat al-Qur`an.
“Tartib surat al-Qur`an” merupakan istilah dari bahasa Arab yang terdiri dari tiga kata yaitu; kata “Tartib”, “Surat” dan kata “Qur`an”. Kata Tartib dalam kamus Kontemporer Arab-Indonesia, merupakan isim masdar dari kata ra-ta-ba yang artinya urutan-urutan atau peraturan.2
Sedangkan kata “Surat” mempunyai pendifinisian-pendifinisian dari berbagai ahli diantaranya:
Pengertian “surat” Menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Pengantar Uluml Qur`an adalah: “Sekelompok (sekumpulan) ayat-ayat al-Qur`an yang berdiri sendiri, yang mempunyai permulaan dan penghabisan”.3 Sedangkan menurut Manna al-Qattan, pengertian “surat” adalah: “sejumlah ayat Qur`an yang mempunyai permulaan dan kesudahan.”4
Sedangkan kata “Qur`an” mempunyai definisi-definisi yang banyak sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ulama dari berbagai keahlian dalam bidang Bahasa, Ilmu Kalam, Usul Fiqh dan sebagainya. Namun definisi-definisi tersebut tentu berbeda antara satu dengan yang lain, karena Stressing (penekanan-Nya) berbeda-beda disebabkan perbedaan keahlian mereka.
Secara etimologi (bahasa) kata “al-Qur`an”, ada beberapa pendapat ulama tentang itu yang diantaranya:
2.1 Menurut as-Syafi`I;
Kata al-Qur`an itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (al-Quran, bukan al-Qur`an) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus digunakan untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana nama Injil dan Taurat yang digunakan khusus untuk kitab-kitab Allah yang diberikan masing-masing kepada Nabi Isa dan Nabi Musa.5
2.2 Menurut al-Farra`;
Lafadz al-Qur`an adalah pecahan (musytaq) dari kata qarain jamak qarinah, yang artinya kaitan, karena ayat-ayat al-Qur’an satu sama lain berkaitan. Karena itu jelaslah bahwa huruf “nun” pada akhir lafadz al-Qur’an adalah huruf asli, bukan huruf tambahan.6
2.3 Menurut al-Asy`ari;
Lafadz al-Qur`an adalah musytaq (pecahan) dari akar kata qarn. Ia mengemukakan contoh kalimat qarnusy-syai bisysyai (menggabungkan sesuatu dengan sesuatu). Jadi kata qarn dalam hal itu bermakna : gabungan atau kaitan, kerena surah-surah dan ayat-ayatnya saling bergabung dan saling berkaitan.7
2.4 Menurut al-Zajjaj;
Lafadz al-Qur`an itu berhamzah, berwazan Fu`lan, dan diambil dari al-Qaru`, yang artinya penghimpunan, hal ini disebabkan al-Qur`an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci sebelumnya (Perhatikan Q.s. al-Bayyinah: 2 – 3)
“(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran), di dalamnya terdapat (isi) Kitab-Kitab yang lurus. (Yang dimaksud dengan isi Kitab-Kitab yang Lurus ialah isi Kitab-Kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi seperti Taurat, Zabur, dan Injil yang murni)”8
2.5 Menurut al-Lihyani;
Lafadz al-Qur`an itu berhamzah, bentuknya masdar dan diambil dari kata –Qa–ro-a (قَرَأَ), yang artinya membaca hanya saja lafal al-Qur`an ini menurut beliau adalah masdar bi ma`na ismil maf`ul, jadi Qur`an artinya maqru` (dibaca)9
2.6 Menurut Dr. Subhi al-Salih;
Bahwa pendapat yang paling kuat adalah lafadz al-Qur`an itu masdar dan sinonim (muradif) dengan lafal qira`ah sebagaimana tersebut dalam al-Qiyamah ayat 17 – 18.
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”
Dan ada beberapa Orientalis, antara lain G.Bergstaesser, beranggapan bahwa bahasa Armia, Abessynia dan Persia tidak sedikit pengaruhnya terhadap perbendaharaan bahasa Arab, karena bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa-bahasa dari bangsa-bangsa yang bertetangga dengan bangsa Arab dan mereka adalah bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya beberapa abad sebelum Islam lahir. Demikian pula Orientalis Krenkow dan Blachere berpendapat bahwa bangsa Arab telah menggunakan beberapa kata yang berasal dari bahasa Armia, Suryani dan Hebrow. yang demikian pula di dalam al-Qur`an, terdapat kata-kata yang berasal dari bahasa asing tersebut. Dan diantara kata-kata asing tersebut menurut Blachere adalah كِتَابٌ : فُرْقَانٌ : قَيُّوْمٌ : dan juga lafal  قَرَاءَ berasal dari bahasa Armia yang mempunyai arti membaca. Sedang lafal قَرَأَ     semula digunakan oleh bangsa Arab untuk arti binatang yang mandul (tidak bisa bunting dan tidak bisa beranak).
Dr. Subhi al-Salih mendefinisikanya dan dipandang sebagai definisi yang dapat diterima para ulama, terutama ahli bahasa, ahli Fiqh dan ahli Ushul Fiqh yaitu:
القُرْآنُ هُوَ الكِتَابُ المُعْجِزُ المُنَزَّلُ عَلَى النَّبِي صلى الله عليه وسلم، المَكْتُوْبُ فىِ المَصَاحِفِ المَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتُرِ المَتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ
“al-Qur`an adalah firman Allah yang bersifat (berfungsi) mukjizat (sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis di dalam mushaf-mushaf. Yang dinukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawatir dan yang membaca dipandang beribadah”.10
Dari berbagai definisi tentang al-Qur`an yang telah banyak didefinisikan menurut para ahli dibidangnya, maka paling tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril dengan cara mutawattir dan menjadi ibadah bagi yang membacanya.
Dari berbagai pengertian yang telah dijelaskan diatas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dari “Tartib Surat al-Qur`an” adalah tata letak surah-persurat yang tersusun di dalam al-Qur`an.

III. Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Ketauqifian Tartib Surat Mushaf Ustmani
Al-Qur’an di zaman Nabi saw sudah ditulis secara keseluruhan, hanya saja belum terkumpul dalam satu buku dan surat-suratnya belum teratur seperti sekarang. Az-Zarkasyi dalam al-Burhan, dan Abu Ja’far bin Zubair dalam al-Munasabat, disitu ia berkata; “Tentang penertiban ayat-ayat dalam setiap surat al-Qur’an adalah tauqifi dari Rasulullah saw, ini adalah suatu perkara yang tidak lagi diperselisihkan oleh seluruh kaum muslimin.”11 Terkait dengan hal ini rosulullah bersabda setiap ada wahyu yang turun kepadanya “Letakkan ayat ini pada tempat ini.”
Adapun penertiban surat-suratnya , apakah ia juga tauqifi atau hanya sekedar ijtihad para sahabat saja? Disini ada pebedaan pendapat dikalangan ulama tentang susunan surat yang terdapat dalam mushaf Ustmani, apakah memang penyusunan surat di dalam mushaf Utsmani tersebut berdasarkan tauqifi atau hasil dari ijtihad sahabat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan tartib surat antara mushaf Utsmani dan mushaf para salaf.
3.1 Ada yang berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan demikan, Al-Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surat-suratnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada ditangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Utsmani yang tidak ada seorang sahabatpun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi ijma’ atas susunan surat yang ada, tanpa suatu perselisihan apapun.12
Kelompok ini berdalil bahwa Rasulullah telah membaca secara tertib di dalam salatnya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat mufashshal (surat-surat pendek) dalam satu rakaat . Al-Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud katanya, ”surat Bani Israil, Al-Kahfi, Maryam, Thahaa, dan Al-Ambiya’ termasuk yang diturnkan di Makkah dan yang pertama-tama aku pelajari” kemudian ia menyebutkan surat-surat itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Juga Ibnu Wahhab meriwayatkan dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata; aku mendengar Rabiah ditanya orang, “mengapa surat Al-Baqarah dan Al-Imran didahulukan, padahal sebelum surat itu diturunkan sudah ada delapan puluh sekian surat Makiyah, sedang keduanya diturunkan di Madinah?” ia menjawab, “kedua surat itu memang didahulukan dan al-Qur’an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya,” kemudian katanya, “ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.”
Ibnu Hashshar mengatakan, “tertib surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya masing-masing itu berdasarkan wahyu.” Rasulallah mengatakan, “letakkanlah ayat ini ditempat ini.” Hal tersebut telah diperkuat pula oleh riwayat yang mutawattir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan dan menyusunnya seperti ini dalam mushaf.”
III.2 Kelomok kedua berpendapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib surat di dalam mushaf-mushaf mereka.13 Misalnya mushaf Aly disusun menurut tartib nuzulnya, yakni dimulai dengan iqra’, kemudian Al-Mudatstsir, lalu Nun, Al-Qalam, kemudian Al-Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surat Makiyah dan Madaniyah. Adapun dalam mushaf Ibnu Mas’ud, yang pertama ditulis adalah surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisaa, lalu disusul Al-Imran. Sedangkan dalam mushaf Ubay, yang pertama ditulis adalah Al-Fatihah, Al Baqarah, An-Nisaa, lalu Al-Imran.
Ibnu Faris berkata: Pengumpulan al-Qur’an ini terdiri dari dua macam. Yang pertama: yaitu penyusunan al-Qur’an, seperti mendahulukan as-sab’u ath-thiwal, kemudian meletakan setelah as-sab’u ath-thiwal ini ayat-ayat yang dari al-mi in, dan seperti inilah yang hanya dikerjakan oleh para sahabat. Sedangkan pengumpulan yang kedua adalah: Pengumpulan ayat-ayat dalam surat. Inilah yang tauqifi, dimana Nabi sendiri yang langsung mengurusnya, seperti yang diperintakan malaikat Jibril kepada beliau.14
III.3 Kelompok ketiga berpendapat, sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihad para sahabat. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat pada masa nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’u ath-thiwal, al-hawamin dan almufashshal pada masa hidup Nabi.15
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda;
اقْرءُواالزَّهْرَا وَيْنِ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ
“Bacalah olehmu dua surat yang bercahaya; Al-Baqarah dan Ali Imran.”
Juga diriwayatkan, “jika hendak pergi ketempat tidur, Rasulullah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupnya lalu membaca ‘Qul Huwallahu ahad dan mu’awwidzatain’.
Menurut Ibnu Hajar, “Tertib sebagian surat-surat atau bahkan sebagian besarnya tidak dapat ditolak, bersifat tauqifi.16 Untuk mendukung pendapatnya ini, ia mengemukakan hadis Hudzaifah Ats-Tsaqafi yang mengatakan, “Rasulullah berkata kepada kami; ‘telah datang kepadaku waktu untuk hizb (bagian) dari Al-Qur’an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai.’ Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah; “bagaimana kalian membuat pembagian Al-Qur’an?” Mereka menjawab; Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan bagian al-mufashshal dari Qaf sampai kami khatam.”
Kata Ibnu Hajar lebih lanjut, “hal ini menunjukkan, bahwa tertib surat-surat seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surat pada masa Rasulullah.” Dan katanya, “Namun mungkin juga yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufashshal, bukan yang lain”.
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat ketiga, yang menyatakan tertib surat-surat itu sebagian bersifat tauqifi dan sebagian berdasarkan ijtihad (yaitu surat Al-Anfal dan Bara’ah), Al-Zarqani menegaskan, bahwa pendapat ketigalah yang paling tepat, Sebab pendapat pertama ada kelemahannya. Karena ternyata ada hadist dari Ibnu Abbas yang memang menunjukkan adanya ijtihad pada tertib sebagian surat-surat al-Qur’an (Utsman berijtihad di dalam melakukan tertib surat Al-Anfal dan Bara’ah).17 Sedangkan pendapat kedua juga ada kelemahannya. Sebab ternyata ada hadits-hadits yang menunjukkan adanya tauqifi pada tertib sebagian surat-surat al-Qur’an. 

IV. Hikmah Dari Penertiban Surat Pada Al-Qur’an
Diantara hikmah dan faidah al-Qur’an dibagi kedalam surat-surat, yaitu:
4.1 untuk memudahkan umat Islam mempelajari, memahami dan menghafalkan al-Qur’an.
4.2 untuk menunjukkan topik pembicaraan, sebab setiap surat telah diberi nama dengan nama yang relevan dengan isi kandungan surat yang bersangkutan; misalnya surat al-Baqarah, al-Jin, Yusuf dan sebagainya.
4.3 untuk menunjukkan, bahwa mukjizat al-Qur’an itu tidak terletak pada surat-surat yang panjang saja, tetapi surat-suratnya yang pendek juga bisa menjadi mukjizat.


Daftar Pustaka
Al-Qattan. Manna. Mabahits Fi `Ulum al-Qur`an. (Cet. II. Qairo. Maktabah Wahdah: 1973)
Zuhdi. Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur`an, (Cet. V. Surabaya. CV. Karya Abditama;1997)
As-Shalih, Subhi, Mabahits Fi Ulumil Qur’an, (Beirut. Darul-Ilm Lil-Malayin: 1985)
Marzuki Ammar. Farikh. Samudra Ulumul Qur’a. (Surabaya. PT Bina Ilmu Offset: 2006)
Ali. Atabik dan Zuhdi Muhdlor. Ahmad. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. (Yogyakarta. Multi Karya Gafika. 1996)

Karakteristik Ushul Fiqh Madzhab Syafi'iyah, Hanafiyah, dan Mutaakhhirin.

A. Ushul Fiqh Syafi'iyah dan Mutakallimin
Dapat dikatakan bahwa aliran yang disebut dengan ushulus syafi'iyah atau ushulul mutakallimin mengacu pada aliran teoristis murni, karena perhatian para pembahas aliran teoristis murni, karena perhatian para pembahas aliran tersebut di arahkan untuk merealisasikan kaidah – kaidah, dan memurnikannya dari pengaruh ( ikatan ) suatu mazdhab mereka semata – mata ingin menciptakan kaidah – kaidah baku. Baik dapat di pergunakan oleh madzhab mereka atau tidak.
Diantara para ulama pada aliran ini ada yang menyalahi imam syafi'i dalam pokok imam syafi'i tidak menjadikan ijma sukuti { kesepakatan ulama secara diam – diam } sebagai hujjah. akan tetapi imam al-amidi pengikut mazhab syafi'i mejadikan sebagai hujah.sebagai mana dijelaskan dalam kitabnya al-ihkam filusulil ahkam juz 1 halaman 265.
Sebagian ulama ahli kalam (mutakallimin) termasuk dalam aliran teoritis imam syafii tersebut.karena aliran ini ada kesamaanya dengan kajian mereka untuk mengetahui hal-hal yang bersifat esensial secara rasional kajian mereka dalam aliran ini sama dengan kajian mereka dalam ilmu kalam secara mendalam tanpa taqlid.oleh karena itu, aliran ini juga di sebut aliran mutakallimin.
Dalam aliran ini terdapat pandangan-pandangan yang bersifat logis dan filosofis. mereka mebicarakan tentang asal usul bahasa dan membahas setiap permasalahan secara rasional seperti permbahasan mereka tentang kebaikan akal pikiran,keburukan suatu hukum selain peribadatan itu bersifat rasional mereka sepakat bahwa apakah kewajiban mensyukuri nikmat itu berdasarkan pertimbangan akal / berdasarkan perintah syara'.demikian juga mereka berselisih tentang masalah-masalah rasional yang tidak berkaitan dengan perbuatan, dan tidak menciptakan metode untuk menggali hukum seperti perselisihan mereka tentang di perkenankan atau tidaknya membebani orang yang tidak ada.
Hal tersebut nenberikan isyarat bahwa aliran pertama di dalam membahsa sesuatu masalah tidak didasarkan pada fanatisme mazhab tertentu dan tidak dengan kaidah pokok bagi masalah mazhab yang bersifat furu' bahkan kaedah-kaedah tersebut di pelajari secara mendetail dan terjauh dari fanatisme.

B. Ushul Fiqh Hanafiah

Aliran kedua dikenal dengan istilah aliran fuqoha' yang dianut oleh para ulama mazhab hanafi, dinamakan mazhab fuqoha',karena dalam menyusun teorinya aliran ini, banyak di pengaruhi oleh furu' yang ada dalam mazhab mereka.
Sebagaimana telah di sebutkan bahwa aliran yang kedua adalah aliran yang dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang (furu').ulama yang mengkaji aliran ini mengacu pada kaidah-kaidah ushul fiqih untuk mengkiaskan dan melegalisir masalah-masalah cabang mazhab-nya dengan demikian mereka menjadikan kaidah-kaidah ini sebagai alat legitimasi bagi istimbatnya dan sebagai bahan untuk argumentasi. Kajian ushul fiqh dalam aliran ini semata – mata hanya untuk menggali masalah – masalah furu' dan argumentasi – argumentasinya, mereka tidak mempunyai kaidah – kaidah ushul fiqh yang tumbuh pada masa istimbat.
Ketahuilah ulama' berpendapat bahwa pertama kali mempolopori aliran ini adalah ulama' madzhab hanafi. Mereka tidak mempunyai kaidah ushul fiqh yang tumbuh pada masa istimbat, sebagaimana di katakan oleh imam ad –dahlawi dalam kitabnya al- inshaf fi bayan asbabil ikhtilaf.
Ketahuilah bahwa mayoritas ulama' menyangka bahwa sebab- sebab timbulnya perselisihan antara imam abu hanifah dan imam syafii berkisar pada kaidah – kaidah ushul yang telah di jelaskan imam bazdawi dalam kitabnya dan lain –lain. Menurut orang yang bukan ahli fiqh bila pintu ijtihad telah di tutup dan tidak diperhitungkannya pemahaman syarat dan sifat sama sekali, dalil yang mewajibkan sesuatu itu mewujudkan atas huhum wajib mutlak dan sebagaimana.meskipun metodhe ushul fiqh madzhab hanafi tampaknya statis dan mandul serta sedikit manfaatnya lantaran semata- mata untuk mempertahankan madzhab tertentu, akan tetapi secara umum methode tersebut mempunyai pengaruh busa terhadap perkembangan pemikiran fiqh. Pengaruh tersebut antara lain berikut ini :
1. Meskipun methode tersebut semata – mata untuk mempertahankan madzhabnya, akan tetapi sebagai methode untuk berijtihad ia merupakan kaidah – kaidah yang berdiri - sendiri , sehingga dapat dijadikan perbandingan antara kaidah – kaidah tersebut, dengan kaidah – kaidah yang lain dengan mengadakan perbandingan, maka secara obyektif dapat diperoleh methode yang lebih benar dan kuat.
2. Karena methode tersebut diterapkan terhadap masalah – masalah furu', maka ia bukan merupakan pembahasan yang hampa. Ia justru merupakan pemabahasan yang universal dan kaidah – kaidah yang umumyang dapat diterapkan pada masalah – masalah furu' dengan mengkaji universitas kaidah – kaidah tersebut. Akan memberikan kekuatan tersendiri.
3. Mengkaji ushul fiqh dengan system tersebut, sama dengan mengkaji perbandingan masalah – masalah fiqh kajian tersebut bukannya membandingkan antara masalah – masalah cabang yang tidak kaidahya, tetapi memperdalam masalah – masalah yan bersifat universal untuk menggali hukum masalah – masalah furu'{juz'i}.
4. kajian ini memberikan kaidah pada masalah – masalah furu' seperti masalah – masalh pokok, dengan kaidah ini akan diketahui cara menetapkan hokum, merinci masalah – masalah furu', serta memberikan ketentuan hokum terhadap permasalahan yang terjadi pada saat itu dan belum terjadi pada masa imam –imam terdahulu.
Aliran kedua yang disebut dengan thoriqoh hanafiyah {methodologi madzhab hanafi}, adapun kitab ushul fiqh yang mula – mula disusun aliran ini adalah kitab al- ushul karya abil hasan al- karhi {wafat 340 hijriyah} sedang yang lebih luas dan mendetail adalah kitab ushulul fiqh karya abu bakar ar-razi yang terkenal dengan nama al- jashas { wafat 380 H}.setelah itu muncullah seorang ulama' besar yang bernama al- Bazdhawi { wafat 483 H}. Dia menyusun sebuah kitab yang diberi nama ushul al- bazdawi, sebuah kitab ushul fiqh yang ringkas dan mudah di cerna. Kitab tersebut dibilang kitab ushul fiqh yang jelas dan mudah yang disusun menurut methode madzhab hanafi.
Adalah sustu hal yang wajar bila dikatakan bahwa para ulama yang memperdalam ilmu ushul fiqh baik dari madzhab syafi'i, maliki, dan hambali telah banyak yang menyusun kitab ushul fiqh menurut methode hanafi dalam menerapkan kaidah - kaidah kulliyah {universal} pada masalah – masalah furu' yang terdapat madzhab mereka masing – masing.

C. Ushul Fiqh Mutaakhirin
Setelah kedua methode yang berbeda – beda itu menjadi baku, maka terbitlah kitab – kitab fiqh yang disusun oleh para ulama yang ahli dari madzhab syafi'i dan hanafi. setelah itu muncul pula beberapa upaya mengkombinasikan kedua methode yang akhirnya membuahkan kitab – kitab yang tinggi nilainya. Diantaranya ialah jam'ul jawami' karya tajuddin Abdul wahhab as- subki as- syafi'I {wafat 771 H}, kitab tahrir karya kamalluddin ibnul hummah{ wafat 861 H}.

ISTISHAB SEBAGAI DALIL USHUL FIQH

1. Pengertian Istishab
Istishab menurut etimologi berarti menyesuaikan sesuatu. Sedangkan menurut terminologi ahli ushul fikih istishab adalah memberlakukan hukum suatu peristiwa sesuai dengan keadaannya semula (hukum asal), selama tidak ada dalil yang menentukan hukum lain yang berbeda dengan hukum asal tersebut. Misalnya, orang yang sudah berwdhu kemudian ia meragukan apakah sudah batal atau belum, maka hukum yang masih berlaku disini adalah belum batal wudlunya selama belum terbukti dengan jelas bahwa ia sudah batal.
Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang tidak ditemukan nash-nya dalam Al-qur’an dan As-sunnah,juga tidak ditemukan dalil syara’ yang mengitlak-kan hukumnya, maka hukumnya adalah boleh, berdasarkan qaidah:
الأصل فى الأشياء الإباحة
Yaitu ibarat suatu keadaan, pada saat Allah SWT. Menciptakan sesuatu yang ada dibumi secara keseluruhan. Maka selama tidak ada dalil yang menunjukan atas perubahan dari kebolehannya, keadaan sesuatu dihukumi dengan sifat asalnya.
Dan apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum binatang, benda-benda, tumbuh-tumbuhan makan dan minuman, atau suatu amal yang hukumnya tidak ditemukan dalam suatu dalil syara’ maka hukumnya adalah boleh. Kebolehan adalah pangkal (asal), meskipun tidak terdapata dalil yang menunjukan akan kebolehannya. Dengan demikian pangkal segala sesuatu itu adalah boleh.
a. Macam-macam Istishhab
Kalangan ahli ushul fikih membagi istishab sebagai berikut :
الآصل براءة الذمّة
1) Istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Atas dasar inilah maka manusia bebas dari kesalahan sampai ada bukti bahwa ia telah berbuat salah. Oleh karena itu, seseeorang yang menuduh orang lain telah berbuat salah maka tuduhan itu tidak bisa dibenarkan secara hukum tanpa adanya bukti yang jelas. Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل فى لأشياء الإباحة حتّى يدلّ الدليل على التحريم

2) Istishab al-Ibahah al-Ashliyyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah (boleh). Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل بقاء ما كا ن على ما كا ن
Penerapan kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah muamalah. Misalnya mengenai makanan dan minuman, selama tidak ada dalil yang melarangnya maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab pada prinsipnya, segala sesuatu yang ada di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia, sesuai dengan firman-Nya pada surat al-Baqarah ayat 29 sebagai berikut :

3) Istishab Ma Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut
Yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yng mencabutnya. Misalnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan itu tetap berlaku sampai terbukti adanya perceraian. Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل بقاء ما كا ن على ما كا ن

4) Istishab al-Washfi
Yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang merubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya, maka air tersebut tetap suci sampai ada bukti yang menunjukan air tersebut menjadi najis. Demikian pula adanya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang, maka ia tetap dianggap masih hidup sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa ia sudah meninggal.

2. Kehujjahan Istishab
Menurut Muhammad Abu Zahrah, para ulama sepakat untuk menjadikan tiga macam istishab. Yang pertama sebagai hujjah dalam hukum Islam. Sedangkan istishab macam yang keempat, yaitu istishab al-washfi, dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut :
1) Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa istishab tersebut bisa dijadikan landasan secara mutlak, baik dalam mempertahahnkan hak yang sudah ada maupun dalam memunculkan hak yang baru. Misalnya, dalam kasus orang hilang menurut istishab masih dianggap hidup. Dalam hal ini berlaku baginya segala hal bagi orang yang hidup, seperti harta dan istrinya masih dianggap miliknya. Dan jika ada ahlli warisnya yang wafat maka dia berhak mendapat harta warisan sesuai dengan kadar bagiannya.
2) Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa istishab al-washfi hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada, dan tidak bisa untuk memunculkan hak yang dianggap baru.
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul berkata,”Sesunggguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selam tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dari pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan bagi mereka.
Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya keputusan tentang kematiannya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakannya, dan barang siapa mengetahui ketiadaannya sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan keberadaannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa kepemilikan. Maka kepemilikan itu dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan tersebut.
Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami-istri sebab akad pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula halnya dengan tanggungan karena utang piutang atau sebab ketetapan apa saja, dianggap tetap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskannya. Tanggungan yang telah dibebaskan dari orang yang terkena tunuttan utang piutang atau ketetapan apa saj yang dianggap bebas sampai ada ketetapan yang membebaskannya. Singkatnya asal sesuatu itu adalh ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula sampai terdapat sesuatu yang mengubahnya.
Istishab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat antara lain sebagai berikut, ”Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah:
الأصل فى الأشياء الإباحة
Pendapat yang dianggap benar adalah Istishab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishab itu adalah tiada lain menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.

3. Pendapat Ulama tentang Istishab
Ulama Hanafiyah menetapkan bajwa Istishab itu merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa Iatishab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya.
Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau yng tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.