I. PENDAHULUAN
Al-Qur`an sebagai pedoman hidup yang pertama bagi umat Islam yang bagi kaum Muslimin adalah kalamu-Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad melalui perantaraan malaikat Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar kemampuan apapun. Dimana ayat-ayatnya telah berintraksi dengan budaya dan perkembangan masyarakat yang dijumpainya. Kendati demikian, nilai-nilai yang diamanahkannya dapat diterapkan pada setiap situasi dan kondisi.
Sebagai kitab suci, al-Qur`an sejak pewahyuannya hingga kini, telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Diawali dengan proses penerimaan wahyu al-Qur`an oleh nabi Muhammad saw., kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang telah menghafalnya dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilitas teks dan bacaannya yang mencapai kemajuan yang berarti pada abad ke-3 H dan abad ke- 4 H.
Selain daripada itu di dalam proses penyusunannya, al-Qur’an disusun secara bertahap. Yaitu dari mulai masa nabi Muhammad saw., hingga pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan yang berhasil mengumpulkan Al-Qur’an sehingga menjadi sebuah mushaf yang dikenal dengan sebutan mushaf utsmani yang telah disetujui oleh jumhur ulama sebagai mushaf yang tertib ayat dan suratnya berdasarkan apa yang ada pada masa Rasulullah1. Namun ada pula beberapa ulama yang berpendapat lain tentang susunan surat dalam mushaf Utsmani tersebut. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan mushaf para salaf (para sahabat sebelum al-Qur’an ini dikumpulkan) dalam hal peneriban surat. Diantaranya mereka ada yang mengurutkannya berdasarkan tanggal turunnya, ini sepeti mushaf Ali bin Abi Thalib ra dan seperti mushaf Abdullah bin Mas’ud, serta beberapa mushaf sahabat yang lainya yang juga berbeda dalam hal penyusunan suratnya.
II. Pengertian Tartib Surat al-Qur`an
Sebelum lebih jauh kita membahas tentang “Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Tartib Surat al-Qur`an”, dan mengemukakan beberapa pendapat para ahli dibidangnya, penulis lebih dahulu memaparkan pengertian “Tartib Surat al-Qur`an” itu sendiri, untuk membantu kita dalam memahami isi kandungan al-Qur`an atau orang lain yang membaca tulisan ini, maka lebih baik jika kita uraikan arti dari tartib surat al-Qur`an.
“Tartib surat al-Qur`an” merupakan istilah dari bahasa Arab yang terdiri dari tiga kata yaitu; kata “Tartib”, “Surat” dan kata “Qur`an”. Kata Tartib dalam kamus Kontemporer Arab-Indonesia, merupakan isim masdar dari kata ra-ta-ba yang artinya urutan-urutan atau peraturan.2
Sedangkan kata “Surat” mempunyai pendifinisian-pendifinisian dari berbagai ahli diantaranya:
Pengertian “surat” Menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Pengantar Uluml Qur`an adalah: “Sekelompok (sekumpulan) ayat-ayat al-Qur`an yang berdiri sendiri, yang mempunyai permulaan dan penghabisan”.3 Sedangkan menurut Manna al-Qattan, pengertian “surat” adalah: “sejumlah ayat Qur`an yang mempunyai permulaan dan kesudahan.”4
Sedangkan kata “Qur`an” mempunyai definisi-definisi yang banyak sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ulama dari berbagai keahlian dalam bidang Bahasa, Ilmu Kalam, Usul Fiqh dan sebagainya. Namun definisi-definisi tersebut tentu berbeda antara satu dengan yang lain, karena Stressing (penekanan-Nya) berbeda-beda disebabkan perbedaan keahlian mereka.
Secara etimologi (bahasa) kata “al-Qur`an”, ada beberapa pendapat ulama tentang itu yang diantaranya:
2.1 Menurut as-Syafi`I;
Kata al-Qur`an itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (al-Quran, bukan al-Qur`an) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus digunakan untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana nama Injil dan Taurat yang digunakan khusus untuk kitab-kitab Allah yang diberikan masing-masing kepada Nabi Isa dan Nabi Musa.5
2.2 Menurut al-Farra`;
Lafadz al-Qur`an adalah pecahan (musytaq) dari kata qarain jamak qarinah, yang artinya kaitan, karena ayat-ayat al-Qur’an satu sama lain berkaitan. Karena itu jelaslah bahwa huruf “nun” pada akhir lafadz al-Qur’an adalah huruf asli, bukan huruf tambahan.6
2.3 Menurut al-Asy`ari;
Lafadz al-Qur`an adalah musytaq (pecahan) dari akar kata qarn. Ia mengemukakan contoh kalimat qarnusy-syai bisysyai (menggabungkan sesuatu dengan sesuatu). Jadi kata qarn dalam hal itu bermakna : gabungan atau kaitan, kerena surah-surah dan ayat-ayatnya saling bergabung dan saling berkaitan.7
2.4 Menurut al-Zajjaj;
Lafadz al-Qur`an itu berhamzah, berwazan Fu`lan, dan diambil dari al-Qaru`, yang artinya penghimpunan, hal ini disebabkan al-Qur`an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci sebelumnya (Perhatikan Q.s. al-Bayyinah: 2 – 3)
“(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran), di dalamnya terdapat (isi) Kitab-Kitab yang lurus. (Yang dimaksud dengan isi Kitab-Kitab yang Lurus ialah isi Kitab-Kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi seperti Taurat, Zabur, dan Injil yang murni)”8
2.5 Menurut al-Lihyani;
Lafadz al-Qur`an itu berhamzah, bentuknya masdar dan diambil dari kata –Qa–ro-a (قَرَأَ), yang artinya membaca hanya saja lafal al-Qur`an ini menurut beliau adalah masdar bi ma`na ismil maf`ul, jadi Qur`an artinya maqru` (dibaca)9
2.6 Menurut Dr. Subhi al-Salih;
Bahwa pendapat yang paling kuat adalah lafadz al-Qur`an itu masdar dan sinonim (muradif) dengan lafal qira`ah sebagaimana tersebut dalam al-Qiyamah ayat 17 – 18.
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”
Dan ada beberapa Orientalis, antara lain G.Bergstaesser, beranggapan bahwa bahasa Armia, Abessynia dan Persia tidak sedikit pengaruhnya terhadap perbendaharaan bahasa Arab, karena bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa-bahasa dari bangsa-bangsa yang bertetangga dengan bangsa Arab dan mereka adalah bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya beberapa abad sebelum Islam lahir. Demikian pula Orientalis Krenkow dan Blachere berpendapat bahwa bangsa Arab telah menggunakan beberapa kata yang berasal dari bahasa Armia, Suryani dan Hebrow. yang demikian pula di dalam al-Qur`an, terdapat kata-kata yang berasal dari bahasa asing tersebut. Dan diantara kata-kata asing tersebut menurut Blachere adalah كِتَابٌ : فُرْقَانٌ : قَيُّوْمٌ : dan juga lafal قَرَاءَ berasal dari bahasa Armia yang mempunyai arti membaca. Sedang lafal قَرَأَ semula digunakan oleh bangsa Arab untuk arti binatang yang mandul (tidak bisa bunting dan tidak bisa beranak).
Dr. Subhi al-Salih mendefinisikanya dan dipandang sebagai definisi yang dapat diterima para ulama, terutama ahli bahasa, ahli Fiqh dan ahli Ushul Fiqh yaitu:
القُرْآنُ هُوَ الكِتَابُ المُعْجِزُ المُنَزَّلُ عَلَى النَّبِي صلى الله عليه وسلم، المَكْتُوْبُ فىِ المَصَاحِفِ المَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتُرِ المَتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ
“al-Qur`an adalah firman Allah yang bersifat (berfungsi) mukjizat (sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis di dalam mushaf-mushaf. Yang dinukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawatir dan yang membaca dipandang beribadah”.10
Dari berbagai definisi tentang al-Qur`an yang telah banyak didefinisikan menurut para ahli dibidangnya, maka paling tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril dengan cara mutawattir dan menjadi ibadah bagi yang membacanya.
Dari berbagai pengertian yang telah dijelaskan diatas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dari “Tartib Surat al-Qur`an” adalah tata letak surah-persurat yang tersusun di dalam al-Qur`an.
Dari berbagai definisi tentang al-Qur`an yang telah banyak didefinisikan menurut para ahli dibidangnya, maka paling tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril dengan cara mutawattir dan menjadi ibadah bagi yang membacanya.
Dari berbagai pengertian yang telah dijelaskan diatas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dari “Tartib Surat al-Qur`an” adalah tata letak surah-persurat yang tersusun di dalam al-Qur`an.
III. Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Ketauqifian Tartib Surat Mushaf Ustmani
Al-Qur’an di zaman Nabi saw sudah ditulis secara keseluruhan, hanya saja belum terkumpul dalam satu buku dan surat-suratnya belum teratur seperti sekarang. Az-Zarkasyi dalam al-Burhan, dan Abu Ja’far bin Zubair dalam al-Munasabat, disitu ia berkata; “Tentang penertiban ayat-ayat dalam setiap surat al-Qur’an adalah tauqifi dari Rasulullah saw, ini adalah suatu perkara yang tidak lagi diperselisihkan oleh seluruh kaum muslimin.”11 Terkait dengan hal ini rosulullah bersabda setiap ada wahyu yang turun kepadanya “Letakkan ayat ini pada tempat ini.”
Adapun penertiban surat-suratnya , apakah ia juga tauqifi atau hanya sekedar ijtihad para sahabat saja? Disini ada pebedaan pendapat dikalangan ulama tentang susunan surat yang terdapat dalam mushaf Ustmani, apakah memang penyusunan surat di dalam mushaf Utsmani tersebut berdasarkan tauqifi atau hasil dari ijtihad sahabat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan tartib surat antara mushaf Utsmani dan mushaf para salaf.
3.1 Ada yang berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan demikan, Al-Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surat-suratnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada ditangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Utsmani yang tidak ada seorang sahabatpun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi ijma’ atas susunan surat yang ada, tanpa suatu perselisihan apapun.12
Kelompok ini berdalil bahwa Rasulullah telah membaca secara tertib di dalam salatnya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat mufashshal (surat-surat pendek) dalam satu rakaat . Al-Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud katanya, ”surat Bani Israil, Al-Kahfi, Maryam, Thahaa, dan Al-Ambiya’ termasuk yang diturnkan di Makkah dan yang pertama-tama aku pelajari” kemudian ia menyebutkan surat-surat itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Juga Ibnu Wahhab meriwayatkan dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata; aku mendengar Rabiah ditanya orang, “mengapa surat Al-Baqarah dan Al-Imran didahulukan, padahal sebelum surat itu diturunkan sudah ada delapan puluh sekian surat Makiyah, sedang keduanya diturunkan di Madinah?” ia menjawab, “kedua surat itu memang didahulukan dan al-Qur’an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya,” kemudian katanya, “ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.”
Ibnu Hashshar mengatakan, “tertib surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya masing-masing itu berdasarkan wahyu.” Rasulallah mengatakan, “letakkanlah ayat ini ditempat ini.” Hal tersebut telah diperkuat pula oleh riwayat yang mutawattir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan dan menyusunnya seperti ini dalam mushaf.”
III.2 Kelomok kedua berpendapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib surat di dalam mushaf-mushaf mereka.13 Misalnya mushaf Aly disusun menurut tartib nuzulnya, yakni dimulai dengan iqra’, kemudian Al-Mudatstsir, lalu Nun, Al-Qalam, kemudian Al-Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surat Makiyah dan Madaniyah. Adapun dalam mushaf Ibnu Mas’ud, yang pertama ditulis adalah surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisaa, lalu disusul Al-Imran. Sedangkan dalam mushaf Ubay, yang pertama ditulis adalah Al-Fatihah, Al Baqarah, An-Nisaa, lalu Al-Imran.
Ibnu Faris berkata: Pengumpulan al-Qur’an ini terdiri dari dua macam. Yang pertama: yaitu penyusunan al-Qur’an, seperti mendahulukan as-sab’u ath-thiwal, kemudian meletakan setelah as-sab’u ath-thiwal ini ayat-ayat yang dari al-mi in, dan seperti inilah yang hanya dikerjakan oleh para sahabat. Sedangkan pengumpulan yang kedua adalah: Pengumpulan ayat-ayat dalam surat. Inilah yang tauqifi, dimana Nabi sendiri yang langsung mengurusnya, seperti yang diperintakan malaikat Jibril kepada beliau.14
III.3 Kelompok ketiga berpendapat, sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihad para sahabat. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat pada masa nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’u ath-thiwal, al-hawamin dan almufashshal pada masa hidup Nabi.15
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda;
اقْرءُواالزَّهْرَا وَيْنِ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ
“Bacalah olehmu dua surat yang bercahaya; Al-Baqarah dan Ali Imran.”
Juga diriwayatkan, “jika hendak pergi ketempat tidur, Rasulullah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupnya lalu membaca ‘Qul Huwallahu ahad dan mu’awwidzatain’.
Menurut Ibnu Hajar, “Tertib sebagian surat-surat atau bahkan sebagian besarnya tidak dapat ditolak, bersifat tauqifi.16 Untuk mendukung pendapatnya ini, ia mengemukakan hadis Hudzaifah Ats-Tsaqafi yang mengatakan, “Rasulullah berkata kepada kami; ‘telah datang kepadaku waktu untuk hizb (bagian) dari Al-Qur’an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai.’ Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah; “bagaimana kalian membuat pembagian Al-Qur’an?” Mereka menjawab; Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan bagian al-mufashshal dari Qaf sampai kami khatam.”
Kata Ibnu Hajar lebih lanjut, “hal ini menunjukkan, bahwa tertib surat-surat seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surat pada masa Rasulullah.” Dan katanya, “Namun mungkin juga yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufashshal, bukan yang lain”.
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat ketiga, yang menyatakan tertib surat-surat itu sebagian bersifat tauqifi dan sebagian berdasarkan ijtihad (yaitu surat Al-Anfal dan Bara’ah), Al-Zarqani menegaskan, bahwa pendapat ketigalah yang paling tepat, Sebab pendapat pertama ada kelemahannya. Karena ternyata ada hadist dari Ibnu Abbas yang memang menunjukkan adanya ijtihad pada tertib sebagian surat-surat al-Qur’an (Utsman berijtihad di dalam melakukan tertib surat Al-Anfal dan Bara’ah).17 Sedangkan pendapat kedua juga ada kelemahannya. Sebab ternyata ada hadits-hadits yang menunjukkan adanya tauqifi pada tertib sebagian surat-surat al-Qur’an.
Juga diriwayatkan, “jika hendak pergi ketempat tidur, Rasulullah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupnya lalu membaca ‘Qul Huwallahu ahad dan mu’awwidzatain’.
Menurut Ibnu Hajar, “Tertib sebagian surat-surat atau bahkan sebagian besarnya tidak dapat ditolak, bersifat tauqifi.16 Untuk mendukung pendapatnya ini, ia mengemukakan hadis Hudzaifah Ats-Tsaqafi yang mengatakan, “Rasulullah berkata kepada kami; ‘telah datang kepadaku waktu untuk hizb (bagian) dari Al-Qur’an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai.’ Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah; “bagaimana kalian membuat pembagian Al-Qur’an?” Mereka menjawab; Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan bagian al-mufashshal dari Qaf sampai kami khatam.”
Kata Ibnu Hajar lebih lanjut, “hal ini menunjukkan, bahwa tertib surat-surat seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surat pada masa Rasulullah.” Dan katanya, “Namun mungkin juga yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufashshal, bukan yang lain”.
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat ketiga, yang menyatakan tertib surat-surat itu sebagian bersifat tauqifi dan sebagian berdasarkan ijtihad (yaitu surat Al-Anfal dan Bara’ah), Al-Zarqani menegaskan, bahwa pendapat ketigalah yang paling tepat, Sebab pendapat pertama ada kelemahannya. Karena ternyata ada hadist dari Ibnu Abbas yang memang menunjukkan adanya ijtihad pada tertib sebagian surat-surat al-Qur’an (Utsman berijtihad di dalam melakukan tertib surat Al-Anfal dan Bara’ah).17 Sedangkan pendapat kedua juga ada kelemahannya. Sebab ternyata ada hadits-hadits yang menunjukkan adanya tauqifi pada tertib sebagian surat-surat al-Qur’an.
IV. Hikmah Dari Penertiban Surat Pada Al-Qur’an
Diantara hikmah dan faidah al-Qur’an dibagi kedalam surat-surat, yaitu:
4.1 untuk memudahkan umat Islam mempelajari, memahami dan menghafalkan al-Qur’an.
4.2 untuk menunjukkan topik pembicaraan, sebab setiap surat telah diberi nama dengan nama yang relevan dengan isi kandungan surat yang bersangkutan; misalnya surat al-Baqarah, al-Jin, Yusuf dan sebagainya.
4.3 untuk menunjukkan, bahwa mukjizat al-Qur’an itu tidak terletak pada surat-surat yang panjang saja, tetapi surat-suratnya yang pendek juga bisa menjadi mukjizat.
Daftar Pustaka
Al-Qattan. Manna. Mabahits Fi `Ulum al-Qur`an. (Cet. II. Qairo. Maktabah Wahdah: 1973)
Zuhdi. Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur`an, (Cet. V. Surabaya. CV. Karya Abditama;1997)
As-Shalih, Subhi, Mabahits Fi Ulumil Qur’an, (Beirut. Darul-Ilm Lil-Malayin: 1985)
Marzuki Ammar. Farikh. Samudra Ulumul Qur’a. (Surabaya. PT Bina Ilmu Offset: 2006)
Ali. Atabik dan Zuhdi Muhdlor. Ahmad. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. (Yogyakarta. Multi Karya Gafika. 1996)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar