A. Sejarah Perkembangan Fiqh dan Meredupnya
Ketika datang imam-imam yang berempat mereka mengikuti tradisi generasi yg sebelum mereka hanya sebagian diantara mereka ada yg lebih dekat kepada Sunah seperti; penduduk Hijaz yg kebanyakan pendukungnya para perowi hadits sementara sebagian lagi lbh dekat kepada rasio atau pikiran seperti; orang-orang Irak yg tidak banyak di jumpai dikalangan mereka penghafal-penghafal hadits disebabkan jauhnya tempat mereka dari tempat diturunkannya wahyu. Imam-imam tersebut telah mencurahkan segala kemampuan yg ada pada mereka utk memperkenalkan agama ini dan membimbing manusia dengannya dan mereka larang orang-orang bertaklid atau mengikut secara membabi buta tanpa mengetahui dalil atau alasannya. Mereka mengatakan “Tidak seorang pun boleh mengikuti pendapat kami tanpa mengetahui alasan kami.”Mereka tegaskan bahwa mazhab mereka adl hadits yg sohih krn mereka tidak ingin diikuti begitu saja sebagaimana halnya orang ma’shum yakni; Nabi SAW. Ketika patokan-patokan diatas dipegang dgn konsisten maka terjadinya perbedaan diantara para fuqoha justru membuat dinamis dan fleksibelnya ilmu fiqh. Perbedaan diantara murid dan guru tidak tabu; Ibnu Abbas banyak berbeda pendapat dgn Ali Umar Zaid bin Tsabit padahal mereka adl guru-gurunya. Para fuqoha tabi’in banyak yg berbeda pendapat dgn para sahabat Imam Malik terkadang berbeda pendapat dgn guru-gurunya yg tabi’in tabiut tabi’in terkadang berbeda pendapat dgn guru-gurunya; Imam Abu dgn Ja’far as Shadiq Imam Syafi’i dgn Imam Malik Imam Ahmad dgn Imam Syafi’i dst. Perbedaan-perbedaan itu tidak sampai melahirkan malapetaka dan gontok-gontokan. Kondisi seperti itu berlangsung sampai abad empat hijrah.
Redupnya Ilmu Fiqh Pasca para Imam mujtahid terjadilah kemerosotan ilmu fiqh. Secara ringkas ada beberapa faktor yg meredupkan ilmu fiqh;
Taqlid orang-orang yg muncul sesudah para imam yg empat kemauan mereka utk berijtihad jadi kendor sebaliknya bangkit naluri meniru dan bertaklid hingga tiap golongan diantara mereka merasa cukup dgn mazhab tertentu yg akan diperdalam diandalkan dan dipegang secara fanatik.
Mereka mencurahkan segala tenaga utk membela dan mempertahankannya dan perkataan imam menjadi seperti firman Allah SWT dan mereka tiada berani mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah bila bertentangan dgn kesimpulan yg telah ditarik oleh imam mereka. Bahkan kultus terhadap imam-imam itu demikian mencolok dan berlebihan sampai-sampai Karkhi mengatakan “Setiap ayat atau hadits yg menyalahi pendapat shahabat-shahabat itu kita hendaklah ditakwilkan atau dinasah.” Dan dgn bertaklid dan ta’asub kepada mazhab-mazhab ini hilanglah kesempatan umat utk beroleh petunjuk dari Kitab dan Sunah timbul pula pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan jadilah pendapat-pendapat fukoha yg dikatakan syari’at dan orang yg menyalahi ucapan-ucapan fukoha itu dipandang ahli bid’ah hingga ucapannya itu tak dapat dipercaya dan fatwanya tak boleh diterima.
Pelembagaan madzhab-madzhab Diantara faktor-faktor yg membantu tersebarnya semangat tradisonal ini ialah usaha yg di lakukan oleh para hartawan dan pihak penguasa dalam mendirikan sekolah-sekolah dimana pengajarannya terbatas pada suatu atau beberapa mazhab tertentu yg menyebabkan tertujunya perhatian para fuqoha terhadap mazhab-mazhab tersebut dan berpalingnya minat dari berijtihad krn mempertahankan gaji yg jadi nafkah hidup mereka. Sebagai akibat dari tenggelam dalam taklid dan meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah umat Islam terpecah belah dalam golongan-golongan hingga mereka berselisih paham tentang hukum nikahnya seseorang bermazhab Hanafi dgn pria bermazhab Syafi’i. Berkatalah sebagian mereka “Tidak sah krn wanita itu bersikap ragu-ragu dalam keimanannya “Karena pengikut- pengikut mazhab Hanafi membolehkan seseorang muslim itu mengatakan “Saya beriman Insya Allah.” Sedang lainnya mengatakan itu boleh dgn alasan mengqiaskannya kepada wanita golongan ahli Zimmah. Sebagian akibat dari kondisi diatas tersebarnya bid’ah dan terpendamnya panji-panji Sunah melempemnya gerakan akal dan terhentinya kegiatan berpikir serta hilangnya kebebasaan berilmu suatu hal yg menyebabkan lemahnya kepribadian umat dan lenyapnya kehidupan berkarya serta terhambatnya kemajuan dan perkembangan hingga orang-orang pihak luarpun melihat celah dan lubang utk dapat menembus memasuki jantung Islam.
Dan akhirnya Fiqih yg sebenarnya Allah SWT menjadikannya sebagai senjata muslim utk menghadapi kehidupan dunia maupun akhirat mengalami kebobrokan yg belum ada taranya hingga berkhidmah padanya lbh banyak menanamkan dengki dan permusuhan merusak hati dan persatuan umat. Para ulamanya hanya berkutat menghafalkan matan dan tidak mengenal kecuali istilah-istilah atau catatan-catatan lampiran bersama pendapat-pendapat yg dikemukakan serta sanggahannya hingga akhirnya Eropa pun menerkam dunia Islam. Kemudian sebagai akibat yg tak dapat dielakan hukum dan budaya asing itulah yg menguasai kehidupan dunia Islam. Dan kemudian suasana di benua Eropa itulah yg mewarnai rumah-rumah jalan-jalan sekolah-sekolah perguruan-perguruan dan tempat-tempat pertemuan kaum muslimin. Derasnya arus dan gelombang sekulerisme Eropa semakin kuat hingga dunia Islam; ulama ormas dan institusi-institusi Islam pun hampir lupa kepada ajaran agamanya; tidak heran jika mereka beramai-ramai menolak syari’at Islam seperti; penolakan terhadap piagam Jakarta di Indonesia.
B. ABU HAMID MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN METODE IJTIHADNYA DALAM AL-MUSTASHFA
a) Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad berakar pada kata : “ja ha da” yang berarti: kesulitan atau “kesusahan” Kata ijtihad berasal dari kata “aljuhdu” (dengan dhammah atau fathah huruf jiim berarti kemauan dan kesulitan “masyaqqah”; kata ini sepola dengan naf’ah. Misalnya ungkapan “wajtahid fil amri” yang berarti mencurahkan kemampuan dan daya mencapai sesuatu guna mencapai apa yang diinginkan yang berupa tujuan akhir.
Secara terminologis, oleh ahli ushul, didefinisikan denganbeberapa definisi sebagai berikut:
Defenisi yang dikemukakan oleh Baidhawi: Ijtihad itu adalah menggarahkan segala kemampuan dalam menggali hukum-hukum syari’at.Sementara itu oleh Imam Al-Ghazâli mendefinisikan ijtihad, sebagai berikut : Ijtihad adalah mengarahkan segala kemampuan Mujtahid keluasan (kedalaman) dalam mencapai ilmu dengan hukum syari’at.” Dari definisi tersebut di atas, maka dapat difahami bahwa esensi ijtihad adalah mengarahkan daya nalar secara maksimal, di dalam dugaan yang kuat tentang hukum agama yang bersifat amaliyahdengan ditempuh dengan cara-cara istinbhath. Lebih jelas lagi bahwa Ijtihad merupakan upaya menafsirkan dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan mempertimbangkan seluruh makna serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
b) Sumber-Sumber Hukum Islam
1. Al-Qur’an
Dalam mendapatkan hukum ada tiga cara: Secara ijmali (global) menurutnya ada ke-ijmalan, sebagai contoh pada Firman Allah Swt;
dalam hal ini Imam Malik dan Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat) meniadakan al-Urf, mewajibkan membasuh seluruh rambut pada setiap berwudhu, sementara itu Imam Syafi’i dan Abd. Jabbar dan Abu al-Huzain keduanya dari Mu’tazilah menetapkan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan dari sebahagian saputangan, maka wajib membasuh sebahagian rambut. Karena itu Imam Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain: bahwa membasuh dari segi bahasa adalah sebahagian seperti halnyamandi yang berarti keseluruhan.
Secara Al-Bayan, dengan mengambil contoh sah keterangandengan perbuatan sama kalau memakai dengan perbuatan. Contohyang lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat dan haji dengan perbuatannya (dengan contohnya), pada kebanyakan orang mukallaf sebagaimana sabda Rasulullah saw., dalam riwayat Bukhary: Dari sini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw., menjelaskan melalui perbuatan.
2. Assunnah
Dalam hal mengambil suatu hukum, Al-Ghazâli mengandalkan hadis-hadis mutawatir, dengan syarat antara lain sebagai berikut: harus mendahulukan ilmu pada hadis itu, harus mendahulukan sanadnya yang banyak dan tidak berbohong. Kalau bertentangan al-Jarhu wa Ta‘dil, maka yang didahulukan adalah naqd al-sanad (kritik sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur tetapi dengan syarat harus adil maka itu dapat diterima.
3. Ijma’
Terkait dengan hal ini, maka dia mensyaratkan keadilan didalam ber-Ijma’ menggantungkan diri, tetapi tetap melegitimasi yang tidak adil seperti di dalam kitab Al-Amidi dan Al-Ghazâli menjelaskan bahwa adil yang menunjukkan kehujjahan Ijma’ itu bersifat umum, mutlak, lepas, beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq tidakboleh dijadikan hujjah. Untuk memperjelas masalah ini, oleh Imam al-Ghazâli memberi definisi Ijma’ sebagai berikut:
Ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad dan Sababat-Sahabatnya atas sesuatu urusam agama. Meskipun dalam istilah ini kepada Nabi Muhammad Saw., namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat Nabi Muhammad Saw., atau umat Islam. Pandangan Imam al-Ghazâli ini mengikuti pandangan kaum Syafi’i, yang menetapknn ijma’ sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya di dasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dan kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi’I mengalami perubahan dan perkembangan terus berlanjut dikemudian hari.
4. Qiyas
Al-Ghazâli secara etimologi memberi penjelasan bahwa kata qiyas berarti mengukur, membanding sesuatu dengan yang semisalnya. Dalam Al-Mustashfa, ia membari definisi qiyas, sebagai berikut :
“Menanggungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapakan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”
Taqlid orang-orang yg muncul sesudah para imam yg empat kemauan mereka utk berijtihad jadi kendor sebaliknya bangkit naluri meniru dan bertaklid hingga tiap golongan diantara mereka merasa cukup dgn mazhab tertentu yg akan diperdalam diandalkan dan dipegang secara fanatik.
Mereka mencurahkan segala tenaga utk membela dan mempertahankannya dan perkataan imam menjadi seperti firman Allah SWT dan mereka tiada berani mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah bila bertentangan dgn kesimpulan yg telah ditarik oleh imam mereka. Bahkan kultus terhadap imam-imam itu demikian mencolok dan berlebihan sampai-sampai Karkhi mengatakan “Setiap ayat atau hadits yg menyalahi pendapat shahabat-shahabat itu kita hendaklah ditakwilkan atau dinasah.” Dan dgn bertaklid dan ta’asub kepada mazhab-mazhab ini hilanglah kesempatan umat utk beroleh petunjuk dari Kitab dan Sunah timbul pula pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan jadilah pendapat-pendapat fukoha yg dikatakan syari’at dan orang yg menyalahi ucapan-ucapan fukoha itu dipandang ahli bid’ah hingga ucapannya itu tak dapat dipercaya dan fatwanya tak boleh diterima.
Pelembagaan madzhab-madzhab Diantara faktor-faktor yg membantu tersebarnya semangat tradisonal ini ialah usaha yg di lakukan oleh para hartawan dan pihak penguasa dalam mendirikan sekolah-sekolah dimana pengajarannya terbatas pada suatu atau beberapa mazhab tertentu yg menyebabkan tertujunya perhatian para fuqoha terhadap mazhab-mazhab tersebut dan berpalingnya minat dari berijtihad krn mempertahankan gaji yg jadi nafkah hidup mereka. Sebagai akibat dari tenggelam dalam taklid dan meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah umat Islam terpecah belah dalam golongan-golongan hingga mereka berselisih paham tentang hukum nikahnya seseorang bermazhab Hanafi dgn pria bermazhab Syafi’i. Berkatalah sebagian mereka “Tidak sah krn wanita itu bersikap ragu-ragu dalam keimanannya “Karena pengikut- pengikut mazhab Hanafi membolehkan seseorang muslim itu mengatakan “Saya beriman Insya Allah.” Sedang lainnya mengatakan itu boleh dgn alasan mengqiaskannya kepada wanita golongan ahli Zimmah. Sebagian akibat dari kondisi diatas tersebarnya bid’ah dan terpendamnya panji-panji Sunah melempemnya gerakan akal dan terhentinya kegiatan berpikir serta hilangnya kebebasaan berilmu suatu hal yg menyebabkan lemahnya kepribadian umat dan lenyapnya kehidupan berkarya serta terhambatnya kemajuan dan perkembangan hingga orang-orang pihak luarpun melihat celah dan lubang utk dapat menembus memasuki jantung Islam.
Dan akhirnya Fiqih yg sebenarnya Allah SWT menjadikannya sebagai senjata muslim utk menghadapi kehidupan dunia maupun akhirat mengalami kebobrokan yg belum ada taranya hingga berkhidmah padanya lbh banyak menanamkan dengki dan permusuhan merusak hati dan persatuan umat. Para ulamanya hanya berkutat menghafalkan matan dan tidak mengenal kecuali istilah-istilah atau catatan-catatan lampiran bersama pendapat-pendapat yg dikemukakan serta sanggahannya hingga akhirnya Eropa pun menerkam dunia Islam. Kemudian sebagai akibat yg tak dapat dielakan hukum dan budaya asing itulah yg menguasai kehidupan dunia Islam. Dan kemudian suasana di benua Eropa itulah yg mewarnai rumah-rumah jalan-jalan sekolah-sekolah perguruan-perguruan dan tempat-tempat pertemuan kaum muslimin. Derasnya arus dan gelombang sekulerisme Eropa semakin kuat hingga dunia Islam; ulama ormas dan institusi-institusi Islam pun hampir lupa kepada ajaran agamanya; tidak heran jika mereka beramai-ramai menolak syari’at Islam seperti; penolakan terhadap piagam Jakarta di Indonesia.
B. ABU HAMID MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN METODE IJTIHADNYA DALAM AL-MUSTASHFA
a) Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad berakar pada kata : “ja ha da” yang berarti: kesulitan atau “kesusahan” Kata ijtihad berasal dari kata “aljuhdu” (dengan dhammah atau fathah huruf jiim berarti kemauan dan kesulitan “masyaqqah”; kata ini sepola dengan naf’ah. Misalnya ungkapan “wajtahid fil amri” yang berarti mencurahkan kemampuan dan daya mencapai sesuatu guna mencapai apa yang diinginkan yang berupa tujuan akhir.
Secara terminologis, oleh ahli ushul, didefinisikan denganbeberapa definisi sebagai berikut:
Defenisi yang dikemukakan oleh Baidhawi: Ijtihad itu adalah menggarahkan segala kemampuan dalam menggali hukum-hukum syari’at.Sementara itu oleh Imam Al-Ghazâli mendefinisikan ijtihad, sebagai berikut : Ijtihad adalah mengarahkan segala kemampuan Mujtahid keluasan (kedalaman) dalam mencapai ilmu dengan hukum syari’at.” Dari definisi tersebut di atas, maka dapat difahami bahwa esensi ijtihad adalah mengarahkan daya nalar secara maksimal, di dalam dugaan yang kuat tentang hukum agama yang bersifat amaliyahdengan ditempuh dengan cara-cara istinbhath. Lebih jelas lagi bahwa Ijtihad merupakan upaya menafsirkan dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan mempertimbangkan seluruh makna serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
b) Sumber-Sumber Hukum Islam
1. Al-Qur’an
Dalam mendapatkan hukum ada tiga cara: Secara ijmali (global) menurutnya ada ke-ijmalan, sebagai contoh pada Firman Allah Swt;
dalam hal ini Imam Malik dan Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat) meniadakan al-Urf, mewajibkan membasuh seluruh rambut pada setiap berwudhu, sementara itu Imam Syafi’i dan Abd. Jabbar dan Abu al-Huzain keduanya dari Mu’tazilah menetapkan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan dari sebahagian saputangan, maka wajib membasuh sebahagian rambut. Karena itu Imam Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain: bahwa membasuh dari segi bahasa adalah sebahagian seperti halnyamandi yang berarti keseluruhan.
Secara Al-Bayan, dengan mengambil contoh sah keterangandengan perbuatan sama kalau memakai dengan perbuatan. Contohyang lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat dan haji dengan perbuatannya (dengan contohnya), pada kebanyakan orang mukallaf sebagaimana sabda Rasulullah saw., dalam riwayat Bukhary: Dari sini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw., menjelaskan melalui perbuatan.
2. Assunnah
Dalam hal mengambil suatu hukum, Al-Ghazâli mengandalkan hadis-hadis mutawatir, dengan syarat antara lain sebagai berikut: harus mendahulukan ilmu pada hadis itu, harus mendahulukan sanadnya yang banyak dan tidak berbohong. Kalau bertentangan al-Jarhu wa Ta‘dil, maka yang didahulukan adalah naqd al-sanad (kritik sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur tetapi dengan syarat harus adil maka itu dapat diterima.
3. Ijma’
Terkait dengan hal ini, maka dia mensyaratkan keadilan didalam ber-Ijma’ menggantungkan diri, tetapi tetap melegitimasi yang tidak adil seperti di dalam kitab Al-Amidi dan Al-Ghazâli menjelaskan bahwa adil yang menunjukkan kehujjahan Ijma’ itu bersifat umum, mutlak, lepas, beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq tidakboleh dijadikan hujjah. Untuk memperjelas masalah ini, oleh Imam al-Ghazâli memberi definisi Ijma’ sebagai berikut:
Ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad dan Sababat-Sahabatnya atas sesuatu urusam agama. Meskipun dalam istilah ini kepada Nabi Muhammad Saw., namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat Nabi Muhammad Saw., atau umat Islam. Pandangan Imam al-Ghazâli ini mengikuti pandangan kaum Syafi’i, yang menetapknn ijma’ sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya di dasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dan kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi’I mengalami perubahan dan perkembangan terus berlanjut dikemudian hari.
4. Qiyas
Al-Ghazâli secara etimologi memberi penjelasan bahwa kata qiyas berarti mengukur, membanding sesuatu dengan yang semisalnya. Dalam Al-Mustashfa, ia membari definisi qiyas, sebagai berikut :
“Menanggungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapakan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar