Jumat, 03 Juni 2011

مالا بتم الواجب الا به فهو واجب

Pendahuluan

Dalam menggali sebuah hukum dari al-Qur’an dan Hadits, para ulama memerlukan kaidah-kaidah dalam merumuskan hukum yang akan mereka ambil. Maka dari itu pengetahuan tentang kaidah fikih merupakan suatu yang sangat penting, mengingat nash-nash al-Qur’an dan Hadis menggariskan hukum secara global. Sementara permasalah hukum dari waktu kewaktu semakin banyak, sehingga diperlukan berbagai metode dalam pengambilan hukum itu sendiri.

Seperti permasalahan suatu perintah dalam al-Qur’an ataupun dalam Hadits, yang mana perintah itu tidak bisa dilaksanakan jika tidak ada sesuatu yang menjadikannya bisa terlaksanakan, maka bagaimanakah hukum dari adanya sesuatu tersebut?

Untuk menjawab hal itu, maka pada kesempatan ini pemakalah akan menjelaskan salah satu kaidah yang berhubungan dengan masalah tersebut.



Pembahasan

مالا بتم الواجب الا به فهو واجب

Kaidah ini merupakan salah satu bagian dari kaidah-kaidah fikih yang sebagian ulama membahasnya sebagai bagian dari kaidah umum dalam fikih islam. Adapun arti dari kaidah ini ialah “suatu yang wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya adalah wajib”.Dalam arti yang lain bahwasannya perkara yang tidak bisa dilepaskan dari pelaksanaan kewajiban, maka hukumnya juga wajib, sebagaimana kewajiban yang diperintahkan.[1]

Untuk lebih dapat memahami maksud dari kaidah ini, maka perlu diketahui bahwasannya ada dua hal yang tidak bisa dilepaskan dari pelaksanaan suatu kewajiban[2], yaitu:Pertama, kewajiban yang tidak dibebankan kepada setiap mukallaf untuk melaksanakannya, misalnya kemampuan untuk menunaikan ibadah haji.Kedua, yang dibebankan kepada mukallaf dan mampu untuk melaksanakannya. Bagian ini terbagi menjadi dua bagian.

a. Sesuatu yang dalam kewajibannya terdapat perintah khusus. Salah satu contohnya adalah wudhu guna menunaikakn ibadah salat. Wudhu merupakan suatu kewajiban bagi mukallaf. Pelaksanaan ibadah salat tidak dapat dipisahkan darinya. Akan tetapi perintah melakukan wudhu ketika akan menunaikan salat merupakan perintah tersendiri bukan dengan perintah salat. Yaitu berdasarkan firman Allah;

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,…..” (Q.S. Al-Maidah:6)

b. Sesuatu yang pelaksanaan kewajibannya tidak bisa dilepaskan darinya dan tidak terdapat perintah khusus terhadapnya. Dan poin kedua inilah yang menjadi pembahasan dari kaidah tersebut.

Contohnya seperti menutupi aurat yang merupakan suatu kewajiban, dan menutup aurat itu tidak bisa terlaksanakan tanpa adanya sesuatu yang bisa menutupinya (kain, baju, celana, dan lain sebagainya), maka adanya sesuatu tersebut ialah suatu kewajiban juga[3].

Contoh lain seperti perintah mempersiapkan kekuatan yang cukup bagi umat islam ketika terjadi suatu peperangan[4]. Seperti firman Allah;

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi….” (Q.S. Al-Anfal:60)

Perintah tersebut tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan mempelajari ilmu-ilmu modern dalam bidang fisika, kimia, dan industri peralatan perang yang bermacam-macam. Maka mempelajari ilmu-ilmu ini merupakan suatu kewajiban (wajib kifayah) sama dengan kewajiban mempersiapkan kekuatan yang cukup. Dan masih banyak lagi contoh aplikasi dari kaidah tersebut.

ما وجب أداؤه فبأي طريق حصل كان وفاء[5]

Kaidah kedua ini masih membahas tentang permasalahan suatu kewajiban. Dimana kaidah ini mempunyai pegertian “segala yang diwajibkan untuk menunaikannya dengan jalan apapun dapat tertunaikan maka itu sudah terlaksana”.

Kaidah ini menjelaskan tentang suatu perbuatan yang harus dilakukan, dan dengan menggunakan cara apapun untuk melaksanakannya maka itu telah menggugurkan kewajiban dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Sebagai penambah pemahaman kita terhadap kaidah ini, penulis akan memberikan contoh dari kaidah ini.

Seperti pada kasus ghasab, ketika si-A meng-ghosob barang milik si-B, maka si-A memiliki kewajiban untuk mengembalikan barang milik si-B yang dia ghosob. Ketika si-A mengembalikan barang tersebut dengan cara akad (gadai ataupun jual beli), maka kewajiban si-A untuk mengembalikan barang ghosoban-nya kepada si-B itu telah terlaksna. Nanum si-A tidak diperbolehkan menerima uang atau apapun dari si-B karena itu sudah menjadi kewajiban si-A untuk mengembalikan barang milik si-B tersebut.

Daftar Pustaka

Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. Jakarta: Kencana PMG, 2006

Dr. Abdul Karim Zaidan. Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qawa’id A-Fiqhiyyah fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah. Terj. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008

Syaikh. Dr. Muhammad Sidqi Ash-Shidqi bin Ahmad Al-Burnu. Qowa’idul Fiqhiyyah.


Az-Zarqa. Syarah Qowaidul Fiqhiyyah. Damaskus: Darul Kalam. Juz 1, 1417


[1]Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. (Jakarta: Kencana PMG, 2006). Hal 172

[2]Dr. Abdul Karim Zaidan. Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qawa’id A-Fiqhiyyah fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah. Terj. (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008). Hal 231

[3] Syaikh. Dr. Muhammad Sidqi Ash-Shidqi bin Ahmad Al-Burnu. Qowa’idul Fiqhiyyah. Hal 219

[4]Dr. Abdul Karim Zaidan. Loc.Cit Hal 233

[5] Az-Zarqa. Syarah Qowaidul Fiqhiyyah. (Damaskus: Darul Kalam. Juz 1, 1417). Hal 303


Tidak ada komentar:

Posting Komentar