Sabtu, 18 Juni 2011

AL-QUR’AN

A. Pengertian al-Qur’an
1. Secara Etimologi
Secara etimologi kata al-Qur’an ialah kata masdar dari asal kata qara’a yang artinya “bacaan”. Namun dalam hal ini para ulama berbeda pendapat mengenai lafadz al-Qur’an. Sebagian berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an itu tidak dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Quran), sedangkan yang lain mengatakan bahwa lafadz al-Qur’an itu dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an).
Berikut berbagai pendapat mengenai asal kata lafadz al-Qur’an :
a. Al-Syafi’I, salah seorang imam mazhab yang terkenal (150-204 H.) berpendapat, bahwa kata alqur’an itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (al-Quran, bukan al-Qur’an) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus digunakan untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana nama Injil dan taurat yang digunakan khusus untuk kitab-kitab Allah yang diberikan masing-masing kepada Nabi Isa dan Nabi Musa.
b. Al-farra’ seorang ahli bahasa yang terkenal, pengarang kitab ma’anil Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata qarain jamak qarinah, yang artinya indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan sebagian ayat-ayat al-Qur’an itu serupa satu dengan yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya itu merupakan indikator dari yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.
c. Al-Asy’ari seorang ahli Ilmu Kalam, pemuka aliran sunni (wafat 324 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata قًََرَن, yang artinya menggabungkan. Hal ini disebabkan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an itu dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
d. Al-Zajjaj, pengarang kitab Ma’anil Qur’an (wafat 311 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an itu berhamzah, berwazan Fu’lan, dan diambil dari kata القَرَءُ, yang artinya penghimpunan. Hal ini disebabkan al-Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci sebelumnya (perhatikan S. Al-Bayyinah: 2-3).
e. Al-Lihyani, seorang ahli bahasa (wafat 215 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an itu berhamzah, bentuk masdar dan diambil dari kata قَرَاءَ, yang artinya membaca. Hanya saja lafal al-Qur’an ini menurut Al-Lihyani adalah masdar bi ma’na isim maf’ul. Jadi, Qur’an artinya maqru’ (dibaca).
f. Dr. Subhi al-Salih, pengarang kitab Mabahits fi Ulumil Qur’an mengemukakan, bahwa pendapat yang paling kuat adalah lafal al-Qur’an itu masdar dan sinonim (muradif) dengan lafal qira’ah, sebagaimana yang tersebut dalam surat al-Qiyamah ayat 17-18 :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”
g. Beberapa orientalis, antara lain G. Bergstaesser berpendapat, bahwa bahasa Armia, Abessynia dan Persia tidak sedikit pengaruhnya terhadap perbendaharaan bahasa Arab, karena bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa-bahasa dari bangsa-bangsa yang bertentangga dengan bangsa Arab dan mereka adalah bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya beberapa abad sebelum Islam lahir.
Demikian pula Krenkow (dalam Encyclopedia de ‘Islam, art. Kitab II, p 1104) dan Blachere (dalam bukunya, Le Coran, Introduction, p. 5) bahwa bangsa Arab telah menggunakan beberapa kata yang berasal dari bahasa Armia, Suryani dan Hedbrow. Demikian pula didalam al-Qur’an, terdapat kata-kata yang berasal dari bahasa asing tersebut. Diantara kata-kata asing tersebut menurut Blachere adalah :
كِتَابٌ , فُرْقاَنٌ ,قَيُّوْم ,ٌ dan juga lafal قَرَاءَ, berasal dari bahasa armia yang mempunyai arti membaca. Sedang lafal قَرَاءَ, semula di gunakan oleh bangsa Arab untuk arti binatang yang mandul (tidak bisa bunting dan tidak bisa beranak).

2. Secara Terminologi
Beberapa definisi tentang al-Qur’an telah dikemukakan oleh beberapa ulama dari berbagai keahlian dalam bidang bahasa, Ilmu Kalam, Ushul Fiqh dan sebagainya. Definisi-definisi itu sudah pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya, karena Stressing (penekanan)nya berbeda-beda, disebabkan perbedaan keahlian mereka.
Sehubungan dengan itu, Dr. Subhi al-Salih merumuskan definisi al-Qur’an yang dipandang sebagai definisi yang dapat diterima para ulama, terutama ahli bahasa, ahli Fiqh, dan ahli Ushul Fiqh.
َاْلقُرْأَنُ هُوَالْكِتاَبُ اْلمُعْجِزُاْلمُنَزَّلُ عَلىَ النًّبِىِّ ص.م.اْلمَكْتُوْبُ فِى اْلمَصَاحِفِ اْلمَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتُرِ اْلمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ.
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat (berfungsi) mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis didalam mushaf-mushaf, yang dinukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawattir, dan yang membacanya di pandang ibadah.”
Selain definisi yang dikemukakan oleh Dr. Subhi al-Salih, ada pula yang mendefinisikan bahwa “Al-quran adalah kalamullah (wahyu) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai mukjizat melalui perantara malaikat jibril dengan secara mutawattir dan bernilai ibadah bagi yang membacanya.”
 
B. Hal-hal yang Terkait Dengan Al-Qur’an
1. Wahyu
Menurut bahasa, ialah memberitahukan sesuatu dengan cara samar dan cepat. Sedangkan menurut istilah, wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar, tetapi meyakinkan kepada Nabi/Rosul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah benar-benar dari Allah sendiri.
Penjelasan secara samar dan sekilas tentang penyebutan “Wahyu” itu tidak jauh maknanya dari pengertian bahasa yang ada pada akar kata wahyu dan iihaa (mewahyukan). Diantara maknanya ialah ilham fitriyah (naluriyah) bagi manusia.
“Dan kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul”.(al-Qashash:7)
Ada juga makna wahyu yang berupa isyarat dalam bentuk lambang dan petunjuk, yaitu sebagaimana firman Allah mengenai Nabi Zakariya AS.:
“Maka ia (Nabi Zakariya) keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu mewahyukan (yakni memberi isyarat) kepada mereka: hendaklah kalian bertasbih pagi dan sore”. (Maryam, 11).
Kata “wahyu” juga digunakan oleh penyair, misalnya:
Ia kupandang sekilas sehingga aku terpesona beberapa detik memikirkan keindahan sifatnya. Kepadanya mataku mewahyukan (mengisyaratkan) kecintaanku sehingga wahya ( isyarat) itu membekas pada pipinya.
Bisikan syetan dan rayuannya mengajak manusia berbuat kejahatan pun oleh Al-Qur’an dijelaskan dengan menggunakan lafadz “wahyu”
“Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka saling mewahyukan (membisikkan) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (al-An’am:112)
Lafadz wahyu juga digunakan untuk menyebut firman Allah yang berupa perintah pada para malaikat supaya mereka melaksanakannya seketika itu juga.
“(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang Telah beriman". (al-Anfaal:12).
Allah telah menerangkan dalam al-Qur’an tentang cara pemberitahuan yang dikehendaki Tuhan kepada Nabi-Nya.
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Berdasarkan ayat tersebut, maka wahyu itu ada tiga macam :
1) Pemberitahuan Tuhan dengan cara ilham tanpa perantaraan.
2) Mendengar firman Allah dibalik tabir.
3) Penyampaian wahyu Tuhan dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. yang didalam al-Qur’an di sebut “al-Ruhul Amin”. Ini ada dua macam :
a) Nabi dapat melihat kehadiran Malaikat Jibril a.s., dan dalam hal ini ada dua macam pula, yakni
Pertama : Malaikat Jibril a.s. dilihat dalam bentuknya yang asli, tetapi ini jarang sekali terjadi.
Kedua : Malaikat Jibril a.s. menjelma sebagai manusia. Dia juga pernah menjelma sebagi seorang laki-laki bernama Dahyah bin Khalifah.
b) Nabi tak melihat Malaikat Jibril ketika menerima wahyu, tetapi beliau mendengar pada waktu kedatangan malaikat itu suaranya seperti suara lebah atau gemerincing bel.
 
2. Perbedaan al-Qur’an dengan Hadits dan Hadits Qudsi
wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad itu ada dua macam, al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi.
Adapun perbedaan antara ketiganya adalah sebagai berikut :
a). Perbedaan antara al-Qur’an dengan Hadits
1)Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa dan maknanya dariAllah 1)Hadits diturunkan dengan maknanya saja dari Allah, sedangkan lafdznya dari Nabi.
2)Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya saja, sebab dapat mengurangi atau menghilangkan mukjizat al-Qur’an sendiri. 2)Hadits boleh diriwayatkan dengan maksudnya saja. Sebab yang terpenting dalam hadits qudsi adalah penyampaian maksudnya.
3)Al-Qur’an, baik lafadz maupun maknanya merupakan mukjizat. 3)Hadits bukan merupakan mukjizat.
4)Al-Qur’an diperintahkan untuk dibaca, baik pada waktu sholat atau diluar sholat sebagai ibadah, baik orang yang membacanya itu mengerti maksudnya atau tidak. 4) Hadits tidak diperintahkan untuk dibaca sebagai ibadah. Yang terpenting dalam hadits adalah untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan.
5)Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi dalam keadaan sadar. 5)Hadits diturunkan dengan bermacam-macam cara, sebagaimana diterangkan dalam surat al-Syura: 51
b). Perbedaan antara al-Qur’an dengan Hadits Qudsi
Dalam hal ini ada dua pendapat:
a. Pendapat pertama mengatakan, bahwa hadits qudsi termasuk firman Allah, bukan sabda Nabi, tetapi Nabi hanya menceritakan saja, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1) Hadits qudsi selalu disandarkan kepada Allah.
2) Hadits qudsi selalu memuat dlomir mutakalim yaitu “Anaa”, “Nahnu” dan dalam hal ini yang dimaksudkan adalah Allah sendiri.
3) Bahwa sanad hadits qudsi itu tidak hanya berakhir pada Nabi tetapi sampai kepada Allah melalui Nabi; Sedangkan sanad hadits Nabawi (hadits biasa) hanya sampai kepada Nabi.
Menurut pendapat ini, meskipun hadits qudsi itu termasuk firman Allah, tetapi tidak mempunyai status yang sama dengan Al-Qur’an, kerena Al-Qur’an diterima secara mutawattir, sedang hadits qudsi seperti keadaan hadits-hadits nabawi lain, pada umumnya diterima secara Ahad (perorangan).
b. Pendapat kedua menyatakan, bahwa hadits qudsi itu lafadznya dari Nabi sendiri, seperti hadits-hadits Nabi lainnya.
Yang berpendapat demikian, antara lain Abu al-Baqa’ dan al-Thibi, Abu al-Baqa’ berkata: “ Al-Qur’an adalah yang maknanya dan lafadznya dari Allah dengan wahyu yang jelas. Adapun hadits qudsi adalah yang lafadznya dari Nabi, sedangkan maknanya dari Allah dengan jalan ilham atau impian.”
Sedangkan menurut al-Thibi: “ Al-Qur’an adalah lafadz yang diturunkan oleh malaikat Jibril dari Allah kepada Nabi. Adapun hadits qudsi adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Allah untuk disampaikan dengan jalan melalui ilham atau impian, kemudian Nabi memberitahukan kepada umatnya dengan bahasa sendiri. Sedangkan hadits-hadits lain tidak di sandarkan kepada Allah dan tidak diriwayatkan dari Allah.”
 
3. I’jazul Qur’an
Mukjizat, menurut imam As-Suyuti dalam bukunya al- Itqan Fi Ulumil Qur’an adalah sesuatu di luar kebiasaan yang disertai dengan adanya tantangan. Sedangkan menurut Dr. Muhammad Quraish Shihab, sesuatu dinamakan mukjizat apabila memenuhi empat unsyur, yaitu :
  •   Suatu hal yang ada diluar kebiasaan.
  •   Nampak pada diri seorang Nabi.
  •   Disertai dengan adanya tantangan.
  •   Sesuatu yang tidak sanggup ditantang orang.
Mukjizat al-Qur’an dapat dilihat dari dua segi :
1). Dari segi bahasa, ulama sepakat bahwa al-Qur’an memiliki uslub (gaya bahasa) yang tinggi, fasahah (ungkapan kata yang jelas), dan balaghah (kepasihan lidah) yang dapat mempengaruhi jiwa pembacanya dan yang mendengarkannya yang mempunyai rasa bahasa arab yang tinggi.
Selain dari pada itu, al-Qur’an, dimana orang arab lumpuh untuk menandinginya itu, sebenarnya tidak keluar dari aturan-aturan kalam mereka, baik lafazd, huruf maupun redaksinya. Tetapi al-Qur’an memiliki jalinan huruf-huruf yang serasi, ungkapannya indah, redaksinya simpatik, ayat-ayatnya teratur, serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macam bayannya, baik dalam jumlah ismiyah dan fi’liyahnya, dalam nafi’ dan isbatnya, dalam dzikr dan hadzfnya dalam tankir dan ta’rifnya, dalam taqdim dan takhirnya, dalam ithnab dan ijaznya, dalam umum dan khususnya, dalam mantuq dan mafhumnya, dalam nash dan fahwanya maupun dalam hal lainnya.
2). Dari segi kandungan isi, mukjizat al-Qur’an dapat dilihat dari tiga aspek :
a. Merupakan isyarat ilmiah.
b. Merupakan sumber hukum.
c. Menerangkan suatu ibrah (teladan) dan kabar gaib, baik yang terjadi pada masa lalu, sekarang maupun yang akan datang.

4. Mutawattir
Al-Qur’an adalah yang telah dinukilkan secara mutawattir dari generasi ke generasi hingga terjaga keabsahan dan kemurniannya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah saw: "Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Zikr[Al-Qur'an] dan Kami pula yang senantiasa menjaganya.
Mutawatir menurut bahasa berasal dari kata al-Witr alias yang bersambung, dan menurut istilah fiqih Mutawatir adalah : hal yang dinukilkan dari sekelompok /generasi ke kelompok/ generasi lain yang tidak ada kemungkinan kerjasama antara mereka untuk menukilkan suatu kebohongan atau pendustaan. Hal-hal yang berasal dari sumber mutawatir merupakan hal yang telah terjamin keabsahan dan kemurniannya.
Macam-macam mutawatir adalah:
(a) mutawatir dari Sejak diterima oleh rasulullah saw hingga menyampaikannya tanpa melebihi ataupun mengurangi dari padanya
(b) mutawatir secara tilawahnya, alias dari sejak para sahabat menerima tilawahnya dari rasulullah saw ketika menyampaikannya hingga saat ini dinukilkan dari generasi ke generasi tanpa melebihi ataupun mengurangi
(c) qur'an diturunkan dengan 7 macam qira'at yang telah disampaikan rasulullah saw langsung dengan ketujuh macam qira'at tersebut kepada 7 tujuh tempat dimana masing-masing memiliki penyebutan huruf yang sedikit berbeda dengan tempat lain.hal demikian sebagaimana diterangkan oleh rasulullah saw yaitu untuk memudahkan bagi hamba-hambaNya dalam tilawah
(d) mutawatir dalam penukilannya sejak masa rasulullah saw hingga dibukukan dalam satu mushaf yang kita kenal sekarang ini.
Hal-hal yang memudahkan kelangsungan dan mutawatirnya al-qur'an yaitu:
1. Al-qur'an diturunkan secara berangsur-angsur hingga memudahkan dalam proses pembukuannya
2. Wahyu yang diterima oleh rasulullah langsung disampaikkannya kepada sahabatnya yang sedang berada dimajlis bersamanya. Hal demikian memudahkan dalam penghapalan secara lisan
3. Pengulangan al-qur'an yang dilakukan oleh rasulullah setiap tahunnya bersama malaikat jibril yaitu tepatnya pada bulan ramadhan. Bahkan pada tahun kewafatan rasulullah saw beliau mengulang hapalannya bersama malaikat jibril dua kali bukan sekali sebagaimana biasanya. 

5. Bernilai ibadah

Membaca al-qur’an didalam ajaran islam dinilai sebagai ibadah, orang yang membacanya dijanjikan pahala disisi Allah.
Adapun pahala orang yang membaca al-Qur’an itu berbeda-beda. Menurut Ali bin Abu Thalib, pahala orang yang membaca al-Qur’an didalam salat adalah 50 kebajikan untuk tiap-tiap hurufnya, 25 kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang dibaca diluar salat tetapi dalam keadaan suci (mempunyai wudhu), dan 10 kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang dibaca diluar solat dan tidak mempunyai wudhu.
Pahala tidak hanya diberikan kepada orang yang membacanya saja, namun bagi orang yang mendengarkannya pun mendapatkan pahala di sisi Allah. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa pahala yang di terima oleh orang yang mendengarkan itu sama dengan pahala orang yang membacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar